Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Sinyal resesi dunia di tahun 2023 kian nyata. Para peneliti di Centre for Economics and Business Research (CEBR) di Inggris menghimbau agar para gubernur bank sentral terus mengambil sikap agresif.
Diantaranya seperti memperketat kebijakan moneter dengan mengerek naik laju suku bunga acuan ke level tertinggi, untuk menekan sinyal resesi akibat kenaikan laju inflasi pangan dan energi di pasar global.
"Sepertinya ekonomi dunia akan menghadapi resesi tahun depan sebagai respons terhadap inflasi yang lebih tinggi," kata Kay Daniel Neufeld, Direktur dan kepala Forecasting di CEBR.
Peringatan tersebut disampaikan CEBR setelah pendapatan ekonomi global yang biasanya dapat melampaui 100 triliun dolar AS, namun hanya diproyeksikan nol persen pada 2023 mendatang.
Alasan ini yang kemudian membuat para ekonom global menyerukan sikap agresif kepada gubernur Bank Sentral di sejumlah negara, agar mereka melanjutkan pengetatan kebijakan moneter di sepanjang 2023.
“Pertempuran melawan inflasi belum dimenangkan. Kami berharap para gubernur bank sentral tetap berpegang teguh pada tahun 2023 terlepas dari biaya ekonomi," ujar Kay Daniel Neufeld.
"Biaya menurunkan inflasi ke tingkat yang lebih nyaman adalah prospek pertumbuhan yang lebih buruk untuk beberapa tahun mendatang," lanjutnya.
Sebelumnya, ekonom CEBR memprediksi adanya resesi lanjutan selama 2023, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada Oktober lalu sempat memperingatkan sejumlah negara untuk mengencangkan sabuk moneternya.
Baca juga: Swedia Diprediksi Masuk ke Jurang Resesi Hingga 2024
Ini lantaran 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) global terus mencatatkan penurunan, hingga ekonomi dunia diproyeksikan tumbuh kurang dari 2 persen pada 2023. Perlambatan tersebut yang kemudian didefinisikan sebagai resesi global.
Selain karena terdampak lonjakan pangan dan energi akibat perang Rusia dan Ukraina, CEBR menyebut bahwa perlambatan ekonomi dunia merupakan dampak dari kebijakan nol Covid (Zero Covid) yang diterapkan pemerintah China selama tiga tahun terakhir.
Kebijakan lockdown yang awalnya dimaksudkan untuk menekan penyebaran virus Covid, justru memperlambat ekspansi Negeri Tirai Bambu hingga perdagangannya dengan Barat terganggu.
Baca juga: Disarankan Warren Buffet, Ini Lima Strategi Berinvestasi Saat Memasuki Fase Resesi
Munculnya tekanan ini yang kemudian membuat ekonomi dunia ikut melambat.
“Konsekuensi perang ekonomi antara China dan Barat akan beberapa kali lebih parah daripada yang kita lihat setelah serangan Rusia ke Ukraina. Hampir pasti akan ada resesi dunia yang cukup tajam dan kebangkitan inflasi pada 2023,” sebut CEBR dikutip dari Bloomberg.
Meskipun ekonomi dunia diprediksi mengalami resesi di sepanjang tahun depan, namun dengan memperketat kenaikan suku bunga CEBR menilai apabila langkah tersebut dapat membuat produk domestik bruto dunia pulih ke zona hijau pada 2037.
Baca juga: Lembaga Ekonomi: Resesi di Jerman Lebih Ringan dari yang Diperkirakan
Dengan wilayah Asia Timur dan Pasifik yang akan menjadi pemasok lebih dari sepertiga dari produksi global pada tahun 2037, sayangnya kondisi serupa tak berlaku bagi Eropa dimana pangsa Eropa diperkirakan menyusut menjadi kurang dari seperlima.