Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menduga Presiden Jokowi tidak tahu secara detail Perppu Cipta Kerja 2/2022.
Pada Jumat (30/12/2022), Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Andi menyebut ada kemungkinan Jokowi hanya diberikan laporan sebagian besar saja.
"Mungkin Presiden diberikan laporan sebagian besarnya saja. Saya meyakini Presiden tidak diberikan secara detail," katanya dalam konferensi pers di kantor KSPSI, Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Ia juga menyebut Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan berbeda 99 persen dari draf usulan yang dikirimkan olehnya bersama Presiden KSPI Said Iqbal.
Menurut dia, ada pihak yang memang ingin merubah isi dari Perppu Cipta Kerja tersebut.
"Indikasi saya adalah Kemenko Perekonomian. Sebab, saya tanya beberapa pejabat Kementerian Ketenagakerjaan, mereka tidak tahu isi draf tersebut," ujar Andi.
Rencana awalnya, pada pekan pertama Januari akan diadakan pertemuan finalisasi draf usulan Perppu Cipta Kerja dari buruh. "Belum terlaksana, taunya sudah nongol duluan," ujarnya.
Menanggapi penerbitan Perppu Cipta Kerja, ia akan segera melakukan komunikasi bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Menko Perekonomian pada pekan ini.
Kemudian, ia akan mencoba mencari waktu bertemu Jokowi.
"Saya minta bertemu agar bisa memperlihatkan, kami bukan menolak Perppunya. Tapi, kami menolak isinya karena merugikan buruh di Indonesia," ujar Andi.
Apabila pertemuan ini tidak berhasil, ia mengatakan pihaknya akan melakukan aksi besar di seluruh Indonesia.
Baca juga: Presiden KSPSI Bingung Draf Perppu Cipta Kerja yang Diusulkan Serikat Pekerja Beda 99 Persen!
Kalaupun aksi tersebut tak didengar, ia menyebut langkah terakhir yang akan dilakukan adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun beberapa poin yang dikritisi oleh KSPSI, di antaranya mengenai penetapan upah minimum, outsourcing (alih daya), penghapusan cuti panjang, dan besaran pesangon yang diterima pekerja.
Pertama, soal penetapan upah minimum yang ada di dalam pasal 88 disebutkan Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
Baca juga: Apindo Tanggapi Perppu Cipta Kerja: Tak Berdampak ke UMKM, Ada Masalah di Sertifikasi Halal
Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
"Kata 'dapat' itu bisa menimbulkan celah di mana gubernur bisa saja tidak menetapkan kenaikan upah minimum," ujar Andi.
Selain itu formula kenaikan upah yang tercantum pada pasal 88D Perppu Cipta Kerja disebutkan variabel perhitungan kenaikan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu.
"Indeks tertentu itu seperti apa? Harus dijelaskan secara jelas. Di dalam pasal tersebut tidak dijelaskan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi dan indikator tertentu. Indeksnya seperti apa yang disampaikan Pemerintah?" katanya.
Baca juga: PKS: Penerbitan Perppu Cipta Kerja Lecehkan DPR, Alasan yang Diberikan Pemerintah Terlalu Lebay
Kedua, pada pasal 64 sampai pasal 66 soal pekerja alih daya atau outsourcing.
Dalam Perppu tersebut tidak dijelaskan secara detail jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya.
Oleh karena itu, ia menyebut K SPSI meminta Pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke UU Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan, yaitu sopir, petugas kebersihan, security, catering, dan jasa migas pertambangan
Ketiga, penghapusan cuti panjang bagi pekerja.
"Keempat, mengenai besaran pesangon yang diterima pekerja di Perppu Cipta Kerja tidak ada bedanya dengan UU Cipta Kerja," ujar Andi.
"Itu dapat mengakibatkan pekerja tidak bisa melakukar perundingan atas pesangon yang biasanya diterima dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan, sesuai dengan kemampuan perusahaan," katanya melanjutkan.