“Saat ini yang dibutuhkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya adalah gerakan bersama untuk memberikan sosialisasi dan edukasi kepada anak berusia 18 tahun ke bawah terkait aktivitas merokok. Jadi, revisi regulasi tidak akan langsung efektif tanpa adanya sosialisasi dan edukasi yang tepat,” ujarnya.
Baca juga: Gaprindo Minta Wacana Regulasi Pembatasan Tembakau Harus Dilihat Objektif
Dalam hal penyusunan regulasi, dia menambahkan, konsumen tidak pernah dilibatkan, padahal mereka adalah salah satu pihak terdampak.
"Konsumen rokok secara jelas turut menyumbang terhadap pemasukan negara dan pembiayaan pembangunan melalui pembayaran cukai. Pemerintah harus melibatkan konsumen dalam setiap penyusunan kebijakan, termasuk soal tembakau," kata Ari.
Pengamat kebijakan Agustinus Moruk Taek menilai, PP 109/2012 sudah komprehensif karena telah mengakomodir seluruh aspek terkait, termasuk larangan akses untuk anak berusia 18 tahun ke bawah.
“Revisi bukan solusi, regulasi ini masih relevan digunakan. Buktinya, berdasarkan data BPS, jumlah perokok anak mengalami penurunan selama empat tahun terakhir,” pungkasnya.
Revisi untuk Larang Penjualan Rokok Eceran
Pemerintah memang berkomitmen merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan demi mencegah penjualan rokok secara eceran alias ketengan atau batangan.
Rencana perubahan revisi PP 109/2012 itu tertuang dalam lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang diteken Presiden Joko Widodo Desember lalu.
Dikutip dari salinan Keppres 25/2022, ada beberapa ketentuan yang akan diubah melalui revisi PP 109/2012. PP tersebut akan mengatur penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada produk tembakau.
Mengutip Kompas.com, PP juga akan mengatur ketentuan rokok elektronik; pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi; dan pelarangan penjualan rokok batangan.
Perubahan PP juga akan mencakup pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi.
Ketentuan mengenai penegakan dan penindakan serta media teknologi informasi dan penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) juga akan diatur melalui perubahan PP tersebut.
Dalam keppres ini disebutkan bahwa Kementerian Kesehatan akan menjadi pemprakarsa revisi PP 109/2012.
Pada 2021, Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia pernah menyampaikan usul agar pemerintah melarang penjualan rokok secara ketengan alias batangan demi menekan tingkat prevalensi perokok aktif di Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian PKJS UI, intensitas merokok tidak berkurang selama pandemi, bahkan di kalangan keluarga berpendapatan rendah yang terdampak Covid-19.
Hasil penelitian menemukan, 50,8 persen laki-laki dewasa atau suami responden yang mengikuti survei mengaku beralih (shifting) ke rokok dengan harga yang lebih murah alih-alih mengurangi intensitas.