Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS) Marwan Batubara menyebut skema power wheeling dapat merugikan PT PLN (Persero), negara lewat APBN, maupun konsumen.
Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta (Independent Power Producers/IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
Penjualan listrik swasta tersebut menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PT PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Baca juga: Skema Power Wheeling Dikhawatirkan Bebani Keuangan Negara, Prioritaskan Listrik ke Daerah Terpencil
"Ada rencana IPP (Independent Power Producer/pengusaha listrik swasta,red) memanfaatkan jaringan transmisi punya PLN, ini bakal banyak menimbulkan masalah," katanya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2023).
Marwan mengatakan skema ini bisa mengurangi kesempatan penerimaan PLN karena pangsa pasar direbut oleh swasta.
"Dengan begitu, akan banyak sarana transmisi itu idle atau tidak terpakai," ujarnya.
IPP dapat menjual listrik secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi dan distribusi yang PLN miliki dan operasikan.
Hal tersebut menyalahi menyalahi konstitusi sebagaimana tertuang dalam turunan Pasal 33 UUD 1945, tepatnya UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Dalam UU tersebut disebutkan penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan diamanatkan dilakukan oleh PLN.
Tak hanya itu, power wheeling juga akan merugikan negara karena kemampuan PLN akan berkurang dalam hal bertahan di kondisi kelebihan pasokan listrik di Indonesia.
Dari sisi masyarakat, harga yang dibayarkan akan lebih mahal dibanding biasanya karena biaya operasional PLN akan bertambah.
"Biaya operasional PLN akan bertambah karena skema POP. Misalnya suatu daerah membutuhkan 100 megawatt, tapi IPP swasta malah menyiapkan 120 megawatt. Itu kan berarti PLN harus membeli sisanya, tidak peduli yang dibutuhkan hanya 100 megawatt," kata Marwan.
"Maka biaya pokok penyediaan listrik itu akan naik. Kalau naik, tarif listrik juga naik. Itu secara umum gambarannya," ujarnya melanjutkan.
Menurut Marwan, pembahasan skema power wheeling tak perlu dilanjutkan lagi.
Sebab, ia menyebut hal tersebut bertentangan dengan konstitusi bila merujuk pada putusan Mahakmah Konstitusi (MK) Tahun 2002.
Baca juga: Skema Power Wheeling Dikhawatirkan Bebani Keuangan Negara, Prioritaskan Listrik ke Daerah Terpencil
"Kalau merujuk pada putusan MK di tahun 2002 terhadap Judicial Review undang-undang kelistrikan, di mana saat itu sebetulnya dalam pasal 16-17 nomor 20 Tahun 2002 itu disebutkan bahwa skema power wheeling ini bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.
Marwan mengatakan skema power wheeling yang akan dimasukkan ini sebetulnya dulu sudah pernah ditolak oleh MK.
"Kenapa ini dicoba lagi untuk dimasukkan? Belum lagi kalau kita bicara tentang bahwa karena ini adalah polaan bundling di mana MK juga sudah memutuskan melalui putusan 111 tahun 2015 bahwa itu berlawanan dengan konstitusi," katanya.
Maka dari itu, ia menyebut semakin besar alasan bagi negara dan rakyat menolak masuknya skema power wheeling dari sisi konstitusi, potensi kerugian negara, dan dari sisi bakal naiknya listrik apabila skema ini diterapkan.
Marwan berujar akan terus mengawal agar skema power wheeling tidak kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto memastikan bahwa skema power wheeling telah dicabut di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
“Iya dicabut dari DIM. Skema ini bukan hanya memberatkan PLN, ini kan menjadi langkah privatisasi jaringan transmisi,” jelasnya dikutip dari Kontan.co.id.
Mulyanto bilang, Komisi VII menginginkan PLN sebagai single buyer di mana secara alamiah transmisi listrik dimonopoli negara melalui perusahaan pelat merah yakni PLN. Tidak diprivatisasi.
Sebelumnya, Mulyanto juga mengemukakan penolakannya terhadap power wheeling yang disebutnya sebagai skema penggunaan bersama jaringan listrik PLN oleh Independent Power Producer (IPP) atau perusahaan listrik swasta. Menurutnya sistem ini akan semakin meliberalisasi sektor ketenagalistrikan.
Mulyanto mengingatkan dengan penggunaan bersama jaringan listrik maka penguasaan listrik oleh negara yang dimandatkan kepada perusahaan negara semakin dikurangi.
"Dari sistem yang terintegrasi (bundling) dari produksi, transmisi dan distribusi dengan power wheeling ini menjadi semakin terpecah-pecah (unbundling) dan sebagian diserahkan ke pihak swasta," ujarnya.