News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Silicon Valley Bank Bangkrut

Silicon Valley Bank Bangkrut, Menkeu Minta Waspada, Apa Dampaknya ke Perbankan dan Startup RI?

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Silicon Valley Bank (SVB)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Silicon Valley Bank (SVB) dinyatakan bangkrut. Otoritas berwenang Amerika Serikat (AS) akhirnya menutup salah satu bank terbesar di AS ini, pada Jumat (10/3/2023).

Ini adalah kegagalan bank terbesar di AS sejak krisis finansial tahun 2008 lalu. Sebelumnya, SVB merupakan bank yang menyimpan deposit sekaligus pemberi pinjaman bagi banyak perusahaan rintisan (startup).

Lalu apa dampaknya bagi perbankan dan startup di Indonesia?  

Bank Indonesia (BI) menyatakan, kolapsnya Silicon Valley Bank tidak berdampak akan berdampak pada perbankan di Indonesia.

Baca juga: Guncang Industri Perbankan Global, Begini Kronologi Bangkrutnya Silicon Valley Bank

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) BI Firman Mochtar mengatakan, dampak yang nyata terlihat adalah kecemasan investor global.

"Di samping ketidakpastian terhadap perilaku (suku bunga) Bank Sentral AS, kasus SVB timbulkan kegamangan penempatan dana di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Di dalamnya termasuk nilai tukar, begitu dampaknya yang ada terhadap kita saat ini," ujarnya dalam sesi pelatihan wartawan di Yogyakarta, Sabtu (18/3/2023).

Firman menjelaskan, kejadian yang menimpa SVB tersebut bakal jadi perhitungan Bank Indonesia dalam menetapkan suku bunga.

"Secara keseluruhan, ini jadi pertimbangan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan suku bunga," katanya.

Di sisi lain, dampak kenaikan suku bunga Bank Indonesia sejauh ini terhadap perekonomian negara, yakni bunga deposito dan kredit naik tidak banyak.

Baca juga: Harga Aset Kripto Mengalami Kenaikan Saat Silicon Valley Bank Bangkrut

"Sudah naikkan suku bunga, dampaknya terhadap PDB? Sejauh ini, suku bunga deposito dan kredit naik, tapi naiknya nggak banyak karena likuditas juga berlebihan, suku bunga nggak naik, tetep mau pinjam ke bank, apalagi ekspektasi ekonomi akan tumbuh," pungkas Firman.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan, bangkrutnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank di Amerika Serikat (AS), tidak menimbulkan efek domino terhadap perbankan di Indonesia.

Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, setelah melakukan investigasi terkait pengaruh kejadian tersebut ke perbankan di Indonesia, dampak secara langsung disebut tidak ada.

"Selama Indonesia menjaga kebijakan dalam negeri dengan baik, perbankan nasional akan tetap aman dan stabilitasnya terjaga," ujar dia dalam keterangan resmi.

Baca juga: Silicon Valley Bank Bangkrut, Bank Kecil Goyang Ekonomi Amerika, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

Ada beberapa hal yang menjadi landasan dari pernyataan tersebut. Purbaya menjabarkan, dari sisi portofolio aset, bank-bank di Indonesia tidak ada yang memiliki karakteristik seperti SVB yang memiliki portofolio surat berharga sangat besar.

Selain itu yang paling penting, level permodalan perbankan nasional yang masih sangat tebal dan berada di angka 25,93 persen per Januari 2023.

“Kondisi likuiditas perbankan saat ini juga dalam keadaan yang sangat memadai. Alat likuid/non-core deposit atau AL/NCD dan alat likuid atau dana pihak ketiga atau AL/DPK per Januari 2023 masing-masing sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen. Nilai ini sekitar dua setengah kali di atas threshold,” jelasnya.

Waspada

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, penutupan Silicon Valley Bank di Amerika Serikat menimbulkan guncangan yang signifikan bagi kondisi pasar global sepekan terakhir.

Menurut dia, kondisi tersebut harus diwaspadai.

"Penutupan Silicon Valley Bank yang relatif kecil, bank regional, dengan aset hanya 200 miliar dolar AS, untuk ukuran Amerika ini sangat kecil," kata Sri Mulyani dalam Konferensi APBN Kita, dikutip Rabu (15/3/2023).

Selain itu, Ani mengatakan, hal tersebut menimbulkan adanya pergerakan kepercayaan deposan di Amerika Serikat.

Bahkan, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) juga memutuskan untuk memberikan kepastian penyelamatan insured maupun non insured deposit. "Oleh karena itu kemudian pemerintah Amerika yang tadinya tidak melakukan bailout, kemudian memutuskan melakukan bailout menjamin seluruh deposito dari SVB," terangnya.

Dikatakan Ani, kondisi tersebut menjadi pelajaran untuk Indonesia bahwa bank yang kecil bisa menimbulkan persepsi sistemik.

Di sisi lain, Ani memaparkan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan kebangkrutan SVB. Pertama, sektor-sektor yang didanai SVB mengalami penurunan kinerja sejak dua tahun terakhir.

Kedua, SVB mengalami kenaikan dari deposito lebih dari tiga kali lipat hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun. Ani berujar, pada kondisi ini penyaluran kredit dari startup menurun serta deposito yang terus meningkat tajam.

Ketiga, harga surat berharga di Amerika Serikat mengalami koreksi lantaran interest rate The Fed naik. Sehingga terjadi penurunan.

"Ini semuanya yang menyebakan kemudian SBV dari sisi balance sheet mengalami penurunan. dan timbul rumor, sehingga terjadi bank run. Situasi ini adalah situasi yang bisa berkembang hanya dalam waktu 1 kali 24 jam, itu yang kita liat," paparnya.

Untuk itu, Ani menegaskan untuk terus waspada. Sebab transmisi dari persepsi sistemik itu bisa menimbulkan situasi yang cukup signifikan bagi sektor keuangan.

"Meski demikian banyak yang mengatakan kasus SBV ini ini tidak akan menimbulkan hal sama seperti Lehman Brothers moment saat 2008. Tentu kita berharap Amerika Serikat bisa stabilkan sektor keuangan," tegasnya.

Pengaruh ke Startup

Ekonomi sekaligus Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, dampak bangkrutnya SVB ke bisnis startup dan perbankan di Indonesia relatif sangat kecil.

Baca juga: FDIC Akan Kembali Lelang Silicon Valley Bank

"Dampak secara langsung ya itu kecil, kenapa? karena tadi relasi antara SVB secara langsung dengan dunia startup dan perbankan di Indonesia sepanjang yang saya tahu itu tidak ada ya atau mungkin sangat kecil," ujarnya dalam diskusi online Indef "SVB Kolaps, Ekonomi Indonesia Perlu Cemas?.

Kemudian, faktor lain yang membuat implikasinya tidak besar terhadap perbankan nasional, yakni rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) masih terjaga.

Baca juga: Analis: Efek Kebangkrutan Silicon Valley Bank Kecil Terhadap Pasar Keuangan Indonesia

"Tetapi, yang lainnya adalah juga soal fundamental perbankan ya. Kalau kita bicara soal CAR terus alat liquid yang lain, yaitu memang masih menggambarkan situasi yang sangat konsisten begitu di Indonesia," katanya.

Selain itu, terkadang dalam situasi jatuhnya bank global semacam ini seperti pada 2008, Indonesia terselamatkan oleh model bisnis perbankan yang tidak terlalu rumit.

"Jadi, ya bisa dikatakan masih tradisional kira-kira gitu ya. Tidak sangat terkorelasi dengan dunia internasional secara dalam gitu, itu yang kadang-kadang memutus efek berantainya kira-kira begitu," pungkas Eko.

Profil Silicon Valley Bank

Silicon Valley Bank didirikan oleh mantan manajer Bank of America Bill Biggerstaff dan Robert Medearis pada 1983. Beroperasi hampir 40 tahun, bank ini tentu bukan pemain baru di sektor layanan keuangan Amerika Serikat.

Saat mendirikan SVB, Biggerstaff dan Medearis berfokus untuk melayani perusahaan pemula seperti startup di sektor teknologi.

Keduanya lantas mempekerjakan Roger V. Smith, yang sebelumnya mengepalai unit pemberi pinjaman berteknologi tinggi di Wells Fargo, untuk menjadi CEO dan presiden pertama bank tersebut.

SVB resmi diluncurkan pada 17 Oktober 1983, sebagai anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Silicon Valley Bancshares (sekarang SVB Financial Group) dengan 100 investor awal.  

Kantor pertama bank ini berada di North First Street di San Jose, California.

Strategi utamanya adalah mengumpulkan simpanan dari bisnis yang dibiayai melalui modal ventura, yang akhirnya berkembang menjadi pemodal ventura perbankan dan pembiayaan, menambahkan layanan untuk memungkinkan bank mempertahankan kliennya yang telah keluar dari fase startup mereka.

Awalnya, para pendiri startup yang mencari pinjaman dari bank harus menjaminkan sekitar setengah dari saham mereka sebagai jaminan, namun tarif tersebut kemudian turun menjadi sekitar tujuh persen.

SVB menutupi kerugian dengan menjual saham kepada investor yang tertarik. Akhirnya, menjadi hal umum bagi perusahaan modal ventura untuk mewajibkan perusahaan rintisan membuat rekening bank di Silicon Valley Bank secara khusus.

Selain itu, SVB memprioritaskan perusahaan rintisan yang menerima pendanaan dari perusahaan modal ventura papan atas, seperti Sequoia Capital, New Enterprise Associates, atau Kleiner Perkins, sebagai cara untuk mengurangi risiko.

SVB mengakuisisi National InterCity Bank of Santa Clara pada 1986 dan membuka kantor pertamanya di Pantai Timur, dekat kota Boston, pada 1990.

Di bawah kepemimpinan Smith, SVB melakukan diversifikasi ke bisnis pinjaman real estat berisiko tinggi, yang mencapai 50 persen dari portofolionya pada awal 1990-an.

Bank ini menjuluki dirinya sebagai “The financial partner of the innovation economy”, karena membantu keuangan startup untuk bisa tumbuh dan berkembang.

Selain untuk perusahaan rintisan, SVB juga menyediakan layanan keuangan dengan wilayah operasi secara global untuk para investor dan perusahaan sektor privat maupun publik.

Sebelum ditutup, SVB pernah masuk dalam 20 bank komersial terbesar di Amerika serikat pada 2022, berdasarkan data dari FDIC.

Kategori ini didapatnya karena total aset yang dimiliki SVB. Menurut FDIC, per akhir Desember 2022, Silicon Valley Bank memiliki total aset sekitar 209 miliar dollar AS dan total simpanan 175 miliar dollar AS.

Bank ini berhasil membuka sebanyak 15 kantor baru sejak 1996 dan memiliki 29 kantor internasional di beberapa negara.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini