News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Produsen Rokok Makin Terjepit, Dibutuhkan Uangnya Tapi?

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Buruh mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok Gajah Baru, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu.

TRIBUNNEWS.COM -- Para produsen rokok di Indonesia semakin terjepit.

Selain jadi sapi perahan pemerintah untuk menghasilkan dana untuk APBN, pada sisi lain rokok dianggap membahayakan kesehatan sehingga ruang geraknya terus dibatasi.

Industri ini mesti hati-hati melanjutkan geraknya, jangan sampai salah langkah dan jadi terpuruk.

Baca juga: ICMI Tegas Tolak Tembakau Sejajar Narkotika dalam RUU Kesehatan

Dikutip dari Kontan.co.id, rokok memang bisa berdampak negatif dan mematikan bagi manusia, apalagi ongkos pengobatannya cukup mahal.

Merujuk riset Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), beban biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok pada 2019 silam diperkirakan mencapai Rp 27,6 triliun.

Dari jumlah itu, BPJS Kesehatan harus menanggung porsi biaya kesehatan Rp 15,5 triliun. Sayangnya, jumlah alokasi maksimum penerimaan cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya mencapai Rp 7,4 triliun.

Tingginya biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok tidak bisa dianggap remeh. Lewat PP No. 109 Tahun 2012, pemerintah berusaha menekan konsumsi rokok di dalam negeri. Mulai dari upaya penambahan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan rokok, hingga memperbanyak simbol bahaya merokok bagi kesehatan.

Hal ini tentu mempersulit para produsen rokok untuk mengembangkan bisnisnya. Padahal, produsen rokok sudah dihadapkan dengan tingginya cukai hasil tembakau.

Contoh saja, awal pandemi tahun 2020 lalu rata-rata tarif cukai rokok naik 23 persen. Untuk 2023, tarif cukai rokok naik 10%. Kenaikan tarif cukai rokok sudah jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

"Kenaikan cukai yang tajam di tengah penurunan daya beli akibat pandemi membuat penjualan rokok turun drastis," imbuh Benny Wachjudi, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Selasa (5/7).

Baca juga: Tembakau Disetarakan dengan Narkotika di RUU Kesehatan, Wakil Ketua MPR: Bisa Berdampak ke Petani

Gaprindo pun mencatat, produksi industri hasil tembakau (IHT) menyusut dari 355,8 miliar batang pada 2019 menjadi 330,7 miliar batang pada 2022. Khusus untuk sigaret putih mesin (SPM), produksinya menciut dari 15,2 miliar batang pada 2019 menjadi 10,5 miliar batang pada 2022.

Guna mempertahankan bisnis, produsen rokok sebisa mungkin menekan biaya produksinya, berinovasi melalui diversifikasi produk, sampai mendorong ekspor. Namun, harus diakui bahwa upaya-upaya tersebut sulit direalisasikan secara optimal mengingat banyaknya tantangan yang menghantam industri rokok.

Di sisi lain, Gaprindo tidak ingin industri rokok terus-menerus disudutkan akibat isu kesehatan. Tanpa mengecilkan nominal biaya kesehatan untuk penyakit terkait rokok, Benny berpendapat, pada dasarnya penyakit yang diderita manusia bisa timbul oleh berbagai faktor.

Misalnya, pola hidup yang kurang sehat, kondisi udara dan air di lingkungan hunian atau tempat kerja, hingga faktor bawaan atau genetika.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini