TRIBUNNEWS.COM - Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) diprediksi bakal menghantui para pekerja atau buruh saat pengusaha kesulitan memenuhi tuntutan kenaikan upah tahun depan sebesar 15 persen.
Kenaikan upah 15 persen ini disampaikan Partai Buruh dengan menggelar aksi di depan pintu Monas, Patung Kuda, Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, kenaikan upah 15 persen untuk mengejar upah minimun buruh sebesar Rp 5,6 juta.
Baca juga: Buruh Tuntut Upah Minimum 2024 Naik 15 Persen
"Middle income country itu pendapatannya lebih dari USD 4.500 per tahun. Kira-kira kalau dirupiahkan akan menjadi 67 juta rupiah pertahun, kalau dibagi 12 bulan ya sekitar 5,6 juta rupiah. Harusnya upah minimun itu 5,6 juta," kata Said Iqbal.
Tuntutan kenaikan upah sebesar ini, kata Said, selain didasarkan pada survey lapangan kebutuhan hidup layak (KHL), juga didasarkan pada makro ekonomi, inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
“Awal tahun lalu Pemerintah menerbitkan Permenaker No 5 Tahun 2023 yang memperbolehkan perusahaan memotong upah 25 persen," kata Said.
"Sehingga kenaikan upah minimum sebesar 15 persen diharapkan bisa mengembalikan daya beli buruh yang turun tersebut," lanjutnya.
Selain itu, buruh juga menyoroti UU Kesehatan karena dapat mengancam sistem jaminan sosial nasional, khususnya terkait dengan jaminan Kesehatan.
"Program jaminan kesehatan bersifat spesialis, tetapi kemudian dijadikan generalis melalui omnibus law UU Kesehatan," ujarnya.
Said mengatakan, buruh juga mempermasalahkan perubahan mandatory spending menjadi money follow program.
"Jika mandatory spending, maka seluruh biaya ditanggung oleh BPJS. Tetapi jika money follow program, akan terjadi co-sharing atau urun bayar antara pasien dengan BPJS Kesehatan," katanya.
Ia kemudian mencontohkan bagaimana sekarang semua dibiayai oleh BPJS, tetapi dengan adanya UU Kesehatan, akan ada urunan bayar.
"Misal, operasi jantung biayanya Rp 100 juta. Bisa jadi pasien diminta membayar Rp 50 juta, sedangkan Rp 50 jutanya dibayar BPJS. Ini akan merusak sistem jaminan sosial,” kata Said Iqbal.
Badai PHK
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama mengatakan, aturan upah pekerja sudah ada ketentuannya oleh pemerintah baik upah minimum provinsi dan kabupaten.
"Inflasi merupakan salah satu komponen pada perhitungan tersebut. Jadi, ada komponen lain yang diperhitungkan seperti pertumbuhan ekonomi, paritas daya beli, dan lain-lain (PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan)" ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Rabu (26/7/2023).
Sementara di 2023, pemerintah membatasi kenaikan tidak lebih dari 10 persen dari rata-rata kenaikan 7,5 persen berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022).
Adapun menurut Riza, bisa saja upah naik hingga 15 persen di 2023, tapi ini tergantung performa ekonomi daerah tersebut dan kebijakan batas atas kenaikan upah oleh pemerintah.
Kemudian jika upah meningkat, maka konsumsi dapat terdorong meningkat, meski ada kemungkinan menahan konsumsi untuk ditabung untuk berjaga-jaga.
Di sisi lain, Riza menjelaskan, ketika upah meningkat, maka biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha juga meningkat, sehingga ini akan menjadi beban.
Baca juga: 1.400 Polisi Amankan Aksi Unjuk Rasa Partai Buruh di Kawasan Monas Jakarta Pusat
Sementara itu di bisnis sektor industri trennya sedang melambat, padahal sektor inilah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
"Beberapa industri sudah mulai memindahkan pabriknya ke daerah yang upah minimumnya lebih rendah, hal ini perlu menjadi pertimbangan juga. Jika upah meningkat di luar kemampuan dunia usaha, maka efisiensi dengan pemangkasan karyawan bisa berlanjut," pungkasnya.
Pengusaha Kesulitan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, permintaan kenaikan upah 15 persen sulit dipenuhi apabila mengacu pada kondisi perekonomian saat ini.
"Secara umum permintaan kenaikan upah tersebut sulit dipenuhi dengan kondisi perekonomian saat ini," katanya kepada Tribunnews, Selasa (25/7/2023).
Shinta kemudian menjelaskan bahwa kenaikan upah minimum akan berbeda-beda di setap provinsi dan di berbagai kabupaten/kota.
"Upah minimum merupakan jaring pengaman (safety net) dan peraturan perundangan kita mengatur bahwa upah minimum diberlakukan hanya untuk kelompok pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun," ujar Shinta.
"Kenaikan upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun diatur dalam struktur skala upah di masing-masing perusahaan," lanjutnya.
Baca juga: Buruh Tuduh Pemerintah Komersialisasi Jaminan Sosial Lewat Undang-Undang Kesehatan
Wanita kelahiran tahun 1967 itu mengatakan, kenaikan upah minimum dalam undang-undang dihitung berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
"Data kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan akan menggunakan data dari sumber yang kredibel, yaitu Badan Pusat Statistik," ujar Shinta.
Ia menyebut kenaikan upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun, telah diatur dalam struktur skala upah di masing-masing perusahaan.
"Kenaikan upah ini tentunya berbeda di setiap perusahaan tergantung kemampuan dari perusahaan masing-masing, serta variabel penghitungan upah yang berlaku," katanya.
Maka dari itu, menurut Shinta, perundingan bipartit dapat digunakan sebagai mekanisme untuk memperjuangkan kenaikan upah.