TRIBUNNEWS.COM, - Intensitas peran antara kelompok Hamas Paletina dengan Israel yang makin memanas, turut membawa dampak negatif ke perekonomia Indonesia.
Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, konflik Palestina VS Israel akan memicu investor bergeser ke aset yang aman.
"Kondisi tersebut dapat memicu dolar AS menguat dalam jangka pendek. Hal itu berpotensi menaikkan harga sejumlah barang dan komoditas impor khususnya pangan," terang Bhima dikutip Rabu (11/10/2023).
Baca juga: AS Berencana Satukan Bantuan Buat Israel dan Ukraina dalam Satu Paket
"Contohnya beras, meskipun ada negara yang siap jual ke Indonesia tapi biaya impor berasnya dipengaruhi dolar AS sehingga beras impor harganya naik," sambung Bhima.
Selain biaya impor beras akan terpengaruh, BBM juga akan lebih mahal dan berpotensi menaiknya harga minyak mentah.
"Kenaikkan harga dolar AS akan menjadi kabar buruk bagi importir minyak," terangnya.
Bhima memprediksi konflik di timur tengah bisa menaikkan harga minyak mentah hingga 90-92 dolar AS per barrel, di mana saat ini dipasar spot harga minyak berkisar 83 dolar AS per barrel.
"Meski naik tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973 yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi dari 2 dollar AS per barrel menjadi 11 dollar AS per barrel atau naik 450 persen," tutur Bhima
Bhima mengatakan, faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus.
Beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.
"Kemudian belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November mendatang," kata Bhima.
Berapa banyak produksi yang dipangkas, ucap Bhima, masih teka teki.
Kemudian faktor lain adalah dolar AS yang menguat menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.
"China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami slowdown ekonomi hingga 2024 mendatang, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4 persen atau dibawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5 persen. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi demand minyak global," ujar Bhima.