Sebab, kebanyakan dari proyek yang dilelang sebagai WKP hanya didasarkan pada data Pemerintah yg memiliki keterbatasan sumber daya dan teknologi, sehingga seringkali harus disurvei ulang oleh calon developer.
"Jadi di depan sudah keluar biaya banyak, sementara potensi belum kelihatan secara pasti, sehingga membutuhkan risk analysis yang sangat robust serta skema pembiayaan atau bankability yang bisa menjamin kelangsungan proyek," ucap Fahmi.
Di sisi lain regulasi yang seringkali berubah, sehingga calon pengembang kesulitan untuk menghitung keekonomian proyek, karena terkadang harga tarif listrik yg telah disepakati di saat menang tender, ternyata masih bisa diminta dikurangi lagi.
"Sehingga, penghitungan keekonomian yang telah dipersiapkan di awal menjadi berantakan dan tidak bisa dilanjutkan dengan margin yang cukup menarik untuk mendorong calon developer "berani" menggelontorkan dana investasi," ujarnya.
Menurutnya, hal ini akan mendorong calon investor untuk hengkang dari Indonesia, karena tiadanya jaminan pembelian listrik dari PLN setelah investor menanamkan modal puluhan hingga ratusan juta dolar.
Oleh karena itu, bisa dipahami sejumlah pengembang asing akhirnya memilih mundur dari proyek panas bumi di Indonesia.
"Seperti yang kita lihat dari Perusahaan Italia, Enel Green Power, yang memilih angkat kaki dari lapangan Way Ratai, Lampung, belum lama ini," contohnya lebih lanjut.
Di lain sisi, Pemerintah perlu terus memperbaiki iklim usaha panas bumi di tanah air, mengingat target capaian net zero emission Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk itu, Pemerintah bisa secara bertahap menggantikan energi batu bara pada pembangkit listrik PLN dengan energi ramah lingkungan dari panas bumi.
"Ini energi bersih tak mengotori lingkungan. Bisa mendukung pencapaian zero carbon dan bauran energi terbarukan 31 persen pada tahun 2050," ucap Fahmi.