News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Subsidi Energi Membengkak, Pemerintah Diminta Utamakan Kepentingan Masyarakat Luas

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi. Aktivitas pengisian truk-truk tangki untuk distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Depo BBM Pertamina di Plumpang, Jakarta

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Dr. Candra Fajri Ananda mengatakan, subsidi energi harus menyasar pada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.

“Pemerintah harus berhati-hati dan fokus dalam menjalankan kebijakan subsidi di bidang energi. Harus ada prioritas yang memungkinkan subsidi tersebut benar-benar dinikmati oleh masyarakat luas dan bukan hanya pihak-pihak tertentu,” kata Candra.

Baca juga: Menteri Keuangan Sri Mulyani Beberkan APBN Terkuras untuk Bansos dan Subsidi Energi

Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Arifin Tasrif telah menyampaikan bahwa pemerintah tahun ini menetapkan target subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun. Rinciannya, sebesar Rp 113,3 triliun subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG), serta Rp 73,6 triliun untuk subsidi listrik.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk dalam negeri kita harus menyiapkan paket subsidi energi untuk para masyarakat, subsidi energi ini tetap dipertahankan," tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat konferensi pers capaian kinerja Kementerian ESDM Tahun 2023 di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Senin (15/1/2024).

Baca juga: Beban Subsidi Energi yang Selalu Membengkak Bikin Utang Indonesia Terus Melonjak

Arifin juga mengungkapkan, pada tahun 2023, realisasi subsidi energi mencapai Rp 159,6 triliun atau lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan sebesar Rp 145,3 triliun.

Candra meminta pemerintah agar mengevaluasi dan menghentikan subsidi energi yang gagal mencapai tujuannya. Dia menunjuk program subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT) yang menyasar 7 sektor industri tertentu yang sudah digulirkan pemerintah sejak bulan April tahun 2020.

“Subsidi ini memang harus tepat sasaran dan tata kelolanya juga benar. Yang salah itu bukan subsidinya, tetapi implementasi dari kebijakan subsidinya. Harus kita akui, program HGBT ini belum memberikan dampak ekonomi seperti yang menjadi tujuan awal pemerintah," ujarnya.

Subsidi pemerintah jauh lebih besar dari penerimaan negara dari sektor industri penerima subsidi. Program ini harus dievaluasi atau dihentikan jika implementasi kebijakannya tidak sesuai,” tegas Candra.

Sejak diberlakukan sampai tahun 2022, program subsidi gas murah dengan mematok harga gas bumi sebesar 6 dolar AS per MMBTU ini telah membuat pemerintah kehilangan penerimaan negara hingga sebesar Rp 29,4 triliun. Padahal dalam periode tersebut, penerimaan negara dari sektor industri penerima subsidi hanya sekitar Rp 15 triliun.

Baca juga: Pengamat Ekonomi Nilai Reformasi Kebijakan Subsidi Energi Harus Dilakukan Guna Lindungi APBN

Terkait subsidi gas bumi, menurut Candra, akan lebih baik diprioritaskan pada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti industri pupuk dan kelistrikan.

“Hari ini kita mendengar banyak petani kesulitan untuk mendapatkan pupuk yang katanya akibat harga gas yang mahal. Karena itu pemerintah harus menjadikan gas murah ini untuk memberikan kepastian pupuk bagi jutaan petani yang hidupnya susah,” tegasnya.

Tetapi, lanjut Candra, pemerintah juga harus melindungi sisi tata niaganya juga. Menurutnya, jangan sampai distribusi pupuk tersebut dikuasai oleh perusahaan tertentu yang akan berdampak pada tingginya harga pupuk begitu sampai di tangan petani.

Karena itu, Menko Perekonomian harus mampu mengkombinasikan semuanya dari hulu sampai hilir bersama kementerian lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, hingga Kemenkumham.

Sektor lain yang juga dipandang strategis untuk mendapatkan gas murah adalah kelistrikan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan program net zero emission di tahun 2060 dimana gas bumi merupakan energi transisi terpenting untuk menghasilkan energi bersih.

“Pemerintah harus berani mengambil keputusan tegas yang berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas,” imbuhnya.

Sesuai ketentuan dalam kebijakan HGBT, pemerintah wajib menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara, sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontraktor.

Dengan skema ini pemerintah memang tidak mengalokasikan biaya subsidi HGBT ke dalam APBN. Namun demikian, pemerintah kehilangan penerimaan negara dalam jumlah yang sangat besar karena jatah keuntungan penjualan gas yang menjadi hak negara berkurang.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas Tutuka Ariadji menyatakan, dalam menjalankan kebijakan insentif harga gas sebesar 6 dolar AS per MMBTU untuk tujuh sektor industri tersebut, pemerintah hanya bisa mengorbankan bagian negara. Sedangkan, porsi bagian kontraktor tetap.

"Penerimaan negara itu yang dikurangi, kalau nggak harga gasnya bisa lebih dari 6 dolar AS," kata Tutuka.

Kondisi sektor hulu migas sendiri sedang menurun. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut realisasi lifting minyak di tahun 2023 sebesar 605.500 barel minyak per hari (BOPD). Produksi itu lebih rendah daripada target APBN 2023 sebesar 660.000 BPOD.

Realisasi salur gas pada 2023 sebesar 5.378 juta standar kaki kubik gas per hari (MMSCFD), juga lebih rendah ketimbang target APBN 2023 sebesar 6.160 MMSCFD.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini