Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menilai seharusnya industri spa tidak dikenai pajak hiburan 40-75 persen.
Ia mendukung bahwa industri spa perlu ditinjau kembali untuk dikenai pajak 40-75 persen.
Adapun mengenai pajak hiburan ini, tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang merujuk pada pasal 58 ayat 2 tentang Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75%
Menurut politikus dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, selama ini spa termasuk dalam kategorisasi industri pariwisata, tidak termasuk dalam industri hiburan.
Baca juga: Inul Daratista Bahagia Pajak Hiburan Batal Naik
Aturan yang mengkategorikan industri spa sebagai pariwisata adalah UU Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Bab VI Pasal 14 ayat 1 huruf M.
Kemudian, ada Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 tahun 2021 tentang standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata.
Serta, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 tahun 2014 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Spa.
"Ini sebetulnya sudah tertuang di Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan Menteri Parekraf dan ini akan diperkuat dengan Judicial Review di MK (Mahkamah Konstitusi), kita tunggu proses hukumnya," kata Sandiaga dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (1/2/2024).
Sandiaga mengungkap akan terus mengupayakan agar tidak ada kenaikan tarif pajak hiburan sebesar 40-75 persen untuk industri spa.
"Selagi kita menunggu proses hukumnya tidak ada peningkatan beban pajak untuk industri spa, demikian juga industri hiburan tertentu lainnya," katanya.
Sebagai informasi, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Lydia Kurniawati memaparkan, dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), terdapat sejumlah jasa yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan.
"Mencakup tontonan film, pergelaran kesenian, kontes kecantikan, kontes binaraga, pameran, pertunjukan sirkus, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, olahraga permainan, rekreasi wahana, panti pijat dan refleksi, serta diskotek, karaoke, klab malam, bar, dan mandi uap/spa," ujar Lydia di Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Lalu, dari beberapa jenis kegiatan tersebut, lanjut dia, kegiatan yang tarif pajak hiburan atau pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) diatur menjadi 40-75 persen di antaranya kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Lydia menjelaskan lima jenis jasa hiburan itu dikenakan tarif pajak cenderung tinggi karena dianggap hanya dikonsumsi masyarakat tertentu.
Untuk memberikan rasa keadilan antar daerah, maka ditetapkan batas bawah 40 persen dari sebelumnya tidak ada batas bawah.
Pengusaha Spa Tak Setuju Pajak Hiburan
Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung, mengaku tak menyetujui perihal kenaikan pajak hiburan sebesar 40 sampai 70 persen sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Menurutnya, spa ini tak termasuk dalam industri hiburan. Sehingga dia meminta pemerintah untuk tidak mengenakan pajak bagi pelaku usaha spa.
"Pajak sebaiknya 0 persen karena wellness tourism membantu pemerintah di bidang BPJS. Pemerintah sudah bilang nggak sanggup bayar BPJS kalau masyarakatnya sakit-sakitan. Pada jaga deh kesehatan masing-masing," ujar Lourda dalam Konferensi Pers di Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024).
Lourda mengatakan, pelaku usaha spa sendiri sudah menghadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai upaya penolakan aturan tersebut.
Hanya saja, dia justru mendapat balasan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Namun, hasilnya nihil.
"Setelah ribut-ribut Menterinya (Menparekraf) baru ngomong, omongannya kalau buat kita di industri ini ngambang-ngambang saja, jadi apakah solusi? belum masih jauh," ucap dia.
"Sampai akhirnya LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) ngomong, siapa LBP? apa otoritas LBP dalam hal ini?" imbuhnya menegaskan.
Selain itu, Lourda pun mempertanyakan asal usul penetapan kenaikan pajak yang berkisar antara 40 sampai 70 persen itu.
Namun menurutnya, pemerintah terlalu memfokuskan pada pembangunan infrastruktur yang menimbulkan utang sehingga kenaikan pajak hiburan itu sebagai solusi atas pembiayaan utang pemerintah.
"Terakhir pemerintah tidak memperhatikan begitu banyak unsur lain di Republik ini selain infrastruktur, yang diurusin infrastruktur yang akhirnya jadi PR seseorang," tutur dia.
"Akibatnya utang naik yang terjadi masyarakat industri dirampok, ini lah keluar 40-70 untuk bayar utang, entah itu alasannya atau bukan yang jelas kita industri ramai-ramai keberatan," sambungnya.