Terpisah, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto, mengatakan aturan pembatasan produk tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak langsung kepada produksi industri tembakau, yang kemudian dikhawatirkan akan berpengaruh pada keberlangsungan tenaga kerja di IHT.
Pihaknya mencatat terdapat 142.688 orang pekerja dari total anggotanya yang mengadu nasib di sektor IHT. Para pekerja tersebut berpotensi terkena dampak ekonomi atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), salah satunya karena aturan tembakau di RPP Kesehatan dapat memicu maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak memiliki cukai, menggunakan cukai palsu, atau pelabelan cukai yang tidak sesuai peruntukannya.
“Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikab terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun. Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini.” katanya.
Selain itu, PP FSP RTMM-SPSI juga meminta agar pemerintah melibatkan para pembangku kepentingan di IHT dalam setiap pembahasan regulasi yang akan dibuat. Hal ini agar aturan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak hanya mengakomodir kepentingan pemerintah saja, tetapi bisa mengakomodir kepentingan industri untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Sebagai informasi, pemerintah tengah menggodok aturan turunan UU No 17/2023 tentang Kesehatan berupa RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif. Rencana penerbitan aturan ini menuai pertentangan dari banyak pihak.
Pasal tembakau di RPP Kesehatan yang sedang dibahas dinilai sudah keluar dari jalur sebagaimana mestinya. Seharusnya, aturan tersebut dibuat tidak hanya melihat dari perspektif kesehatan saja, namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Hal ini yang kemudian memicu pro dan kontra di masyarakat.
Beberapa pasal tembakau dalam RPP Kesehatan yang menjadi perhatian pelaku IHT, antara lain yakni pasal terkait batasan TAR dan nikotin, potensi pelarangan bahan tambahan, pasal terkait jumlah stik dalam kemasan, larangan menjual rokok eceran, aturan mengenai jam malam penayangan iklan di televisi, serta pelarangan promosi di media sosial. Selain itu, terdapat juga pasal terkait larangan penjualan pada jarak kurang 200 meter dari tempat pendidikan dan larangan pemajangan produk tembakau.