News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hanya Bayar BHP Rp2 Miliar Per Tahun, Pemerintah Perlu Evaluasi PNBP Starlink

Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Starlink sebagai layanan internet berbasis satelit menjadi hal yang baru di Tanah Air karena selama ini masyarakat Indonesia dilayani oleh Internet Service Provider (ISP) eksisting berbasis fiber optic dan broadband.

TRIBUNNEWS.COM -- Kritikan terus diluncurkan ke pemerintah terkait hadirnya Starlink di Indonesia.

Pengamat telekomunikasi dari STEI ITB Agung Harsoyo mengatakan bahwa sudah banyak investasi yang masuk di sektor telekomunikasi, seperti ke operator selular, perusahaan telekomunikasi untuk menggelar jaringan fiber optik, membangun menara telekomunikasi dan membuat pabrik perangkat telekomunikasi.

“Jumlah investasi tersebut lebih besar dari yang ditanamkan Starlink di Indonesia. Apa iya pemerintah ingin investasi ratusan triliun tersebut kabur ke negara lain karena berharap investasi Starlink yang hanya Rp 30 miliar.

Nilai investasi Starlink tersebut tak sebanding jika ada perusahaan telekomunikasi mati atau ada investor telekomunikasi kabur dari Indonesia. Menurut saya itu bukan prestasi yang patut dibanggakan,”ujar Agung dalam keterangan persnya, Rabu (19/6/2024).

Baca juga: Luhut Kejar Investasi Tesla Hingga Amerika Serikat, Dapatnya Investasi Starlink Rp 30 Miliar

Namun tiba-tiba Starlink dengan investasi hanya Rp 30 miliar dan tiga orang karyawan yang memberikan layanan sangat murah.

Pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyalahkan operator telekomunikasi nasional tak bisa berkompetisi dengan Starlink pun dinilai kurang bijak.

Menurutnya sebagai pejabat publik yang membawahi investasi, harusnya beliau tak hanya memikirkan menarik investasi baru ke Indonesia.

Justru tugas utama Menko Marves harusnya dapat menjamin iklim investasi kondusif agar nilai yang sudah di tanamkan investor di Indonesia meningkat.

Menurut komisioner BRTI periode 2018–2021, sejatinya perusahaan telekomunikasi nasional tak anti dan siap berkompetisi dengan perusahaan besutan Elon Musk tersebut.

Sebagai Menko Marves, harusnya Luhut dapat melihat industri ini secara jernih dan bijak. Saat ini perusahaan telekomunikasi di Indonesia kondisinya tak sehat.

Ini disebabkan mereka masih menanggung beban regulasi (regulatory charges) yang sangat tinggi. Saat ini regulatory charges di industri telekomunikasi lebih dari 15 persen. Padahal ambang batas sehatnya kurang dari 8%.

“Jika Luhut ingin operator telekomunikasi dapat berkompetisi, harusnya industrinya disehatkan terlebih dahulu. Asosiasi telekomunikasi sudah mengajukan skema dan program untuk menyehatkan industri.

Namun hingga saat ini belum mendapatkan respon positif pemerintah. Dengan kewenangan yang saat ini dimiliki, Luhut harusnya dapat membantu penyehatan industri dengan menurunkan beban regulatory charges yang besar,”ungkap Agung.

Kata Agung, saat ini Starlink hanya dikenakan regulatory charges sangat rendah.

Kominfo hanya mengenakan BHP Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink.

Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.

Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun.

Dengan kewenangan yang dimiliki Luhut harusnya kata Agung Starlink dapat dikenakan BHP berdasarkan jumlah satelit yang memancar di Indonesia.

Pandangan Agung ini bukan tanpa dasar. Sebab saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelitnya.

Jika operator memiliki 2 satelit, mereka harus membayar BHP ISR sebanyak satelit yang dimiliki. Sehingga perubahan perhitungan BHP ISR Starlink nantinya dinilai Agung dapat meningkatkan PNBP negara dan menciptakan iklim persaingan usaha.

Perubahan metode perhitungan berdasarkan satelit Starlink yang memancar ini mirip pemerintah yang memungut PNBP sektor transportasi udara berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia.

Bukan per perusahaan penerbangan. Jika metode BHP ISR dihitung persatelit yang beroperasi di Indonesia, kontribusi Starlink bagi PNBP sektor telekomunikasi sangat signifikan.

“Jika nantinya mereka menyelenggarakan direct to cell, harusnya pemerintah dapat mengenakan Starlink dengan BHP IPFR layaknya operator selular. Dengan kewenangan yang miliki, saya yakin Luhut mampu membuat regulasi NGSO (Nongeostasioner) yang berkeadilan.

Pembuatan regulasi NGSO ini sejalan dengan visi serta misi Presiden Jokowi dan Luhut yang menginginkan investasi Starlink di Indonesia dapat berkontribusi signifikan bagi pendapatan negara,”ucap Agung.

Selain beban regulasi, permasalahan dalam menyediakan layanan internet di Indonesia yang perlu dilihat Luhut adalah sulitnya akses yang disebabkan mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik.

Agung mengatakan, kondisi geografis Indonesia yang kepulauan dan gunung membuat ongkos penggelaran fiber optik di Indonesia mahal.

“Agar tak ada fiksi dan tumpeng tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia, harusnya Luhut menempatkan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi yang hendak menyediakan layanan di daerah yang lokasinya menantang.

Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone yang nantinya akan dipakai pengusaha ISP yang belum memiliki fiber optik. Menurut saya ini solusi yang menguntungkan bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi,” terang Agung.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini