Danang justru menyoroti bahwa turunnya kinerja industri TPT juga disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah yang kurang bersahabat.
Terbaru, yakni adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Beberapa pihak menuding aturan tersebut menjadi biang kerok lesunya penjualan produk buatan dalam negeri, serta berdampak pada banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tekstil nasional.
"(Lesunya industri TPT) bukan karena pabriknya tidak mampu bersaing sehingga mereka tutup, tidak. Tapi karena ada salah kebijakan dari pemerintah sehingga mereka tidak mampu bersaing dan tutup," ujar Danang.
"Sehingga pemerintah mesti melakukan policy atau pembuatan regulasi atau visi kebijakan itu secara paralel, baik di industri teknologi tinggi dan industri padat karya. Bisa berjalan paralel kok, tanpa harus mendikotomikan antara industri teknologi tinggi dengan industri padat karya," pungkasnya.
Padat Karya
Industri TPT merupakan sektor yang perlu dikembangkan bersama dengan industri elektronika dan industri pembuatan microchip.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, tiga sektor tersebut perlu dikembangkan untuk dapat mendukung industri manufaktur nasional.
Ketiga industri tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, terutama industri TPT yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, majunya salah satu sektor industri tersebut tidak boleh mengorbankan industri yang lainnya.
"Jangan sampai industri TPT disubstitusi dengan industri elektronik dan industri pembuatan microchips karena industri tersebut sama-sama penting. Jadi, salah satu jangan ada yang dikorbankan," katanya, Jumat (23/6/2024).
Industri TPT merupakan sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47 persen terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada tahun 2023. Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT berkontribusi sebesar 5,84 persen terhadap PDB sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar 11,6 miliar dolar AS dengan surplus mencapai 3,2 miliar dolar AS.
Dampak dari pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor dibandingkan sebelum pemberlakuan Permendag 36/2023. Impor pakaian jadi yang pada Januari dan Februari 2024 berturut turut sebesar 3,53 ribu ton dan 3,69 ribu ton, turun menjadi 2,20 ribu ton pada bulan Maret 2024 dan 2,67 ribu ton di pada bulan April 2024.
Sementara itu, impor tekstil juga mengalami penurunan, dari semula 193,4 ribu ton dan 153,2 ribu ton pada Januari dan Februari 2024, menjadi 138,2 ribu ton dan 109,1 ribu ton pada Maret dan April 2024. Demikian juga jika membandingkan data impor secara year on year (YoY), terjadi penurunan impor pakaian jadi yang sebelumnya sebesar 4,25 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 2,2 ribu ton pada Maret 2024.
Efektivitas pemberlakuan Permendag 36/2023 tersebut juga terlihat dari PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang sepanjang tahun 2023 tumbuh negatif (triwulan I hingga IV 2023 tumbuh negatif), telah tumbuh positif sebesar 2,64 persen (YoY) di triwulan I 2024. Pertumbuhan tersebut juga sejalan dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada industri tekstil dan industri pakaian jadi yang terus mengalami peningkatan.