Menurutnya, yang terbaik bagi perokok adalah tidak menggunakan produk tembakau sama sekali.
“Namun kita harus paham bahwa banyak perokok yang tidak bisa serta-merta meninggalkan produk tembakau sepenuhnya,” urai Amaliya.
“Sehingga, produk tembakau alternatif yang tidak dibakar ini bisa menjadi opsi yang lebih baik bagi mereka,” lanjutnya.
Sebab, produk tersebut telah teruji secara kajian ilmiah menerapkan konsep pengurangan risiko sehingga mampu meminimalkan zat-zat berbahaya. Hal itu dibuktikan dengan studi klinis yang dilakukan Universitas Padjadjaran.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UI Harry Prasetiyo, mengatakan para pembuat kebijakan harus mencari sumber masalah dalam merumuskan suatu aturan.
Pemerintah harus memiliki pola pikir (mindset) yang baik ketika membuat aturan produk tembakau, termasuk dengan mempertimbangkan profil risiko.
Di UU Kesehatan contohnya, pemerintah sebenarnya telah mengamanatkan adanya aturan turunan yg terpisah antara rokok konvensional dengan rokok elektrik.
"Ketika kita memakai ilmu hukum, ada yang namanya single subject rule. Ini dua objek berbeda sehingga diatur berbeda. Sehingga, di Peraturan Pemerintah (PP)-nya, saya berharap diatur secara berbeda pula," ujarnya.