BMTP inilah yang beberapa waktu lalu sempat ramai karena disebut Zulhas bisa sampai 200 persen. Zulhas mengklarifikasi bahwa tarifnya tidak tentu 200 persen, tetapi bisa beragam, tergatuntung hasil penyelidikan KPPI.
Berikutnya, KADI yang juga berada di bawah naungan Kemendag, juga akan melakukan penyelidikan serupa seperti KPPI.
"Mereka juga akan lihat data BPS, asosiasi dipanggil, data impor dilihat, masuknya melonjak enggak? Baru nanti mereka sidang, ada keputusannya," ujar Zulhas.
Jika output dari KPPI adalah BMTP, KADI memiliki Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Zulhas mengatakan, saat ini industri yang sudah disepakati terkena tambahan biaya masuk adalah TPT dan keramik. Untuk industri pakaian jadi sedang dalam proses.
Untuk tarif bea yang akan dikenakan, Zulhas masih akan melihat lebih lanjut hasil penyelidikan dari KPPI dan KADI.
"Tarifnya berapa nanti saya akan lihat hasil kerja mereka. Tetapi kata mereka tinggal akan laporan kepada Kemendag, buat surat nanti, baru nanti kita tembuskan ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan," tutur Zulhas.
Zulhas pun menyimpulkan untuk menangani permasalahan ini ada KPPI dan KADI. Ia juga menegaskan tidak memandang asal negara yang akan dikenakan impor ini. Jadi, tidak hanya China yang akan kena, tetapi negara lain juga bisa.
Sebelumnya, Zulhas pernah menyatakan bahwa ada tujuh industri yang berpotensi dikenakan BMTP dan BMAD.
Ada tujuh industri yang mendapat perhatian khusus, yakni tekstil produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kecantikan, barang tekstil, dan alas kaki.
"Kementerian Perdagangan akan melakukan segala upaya sesuai dengan ketentuan dan aturan, baik aturan nasional maupun yang sudah disepakati lembaga dunia seperti WTO," ujar Zulhas di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Jumat (5/7/2024).