Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan hingga peraturan turunannya, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), dinilai mengancam industri rokok nasional.
Atas hal itu, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) siap turun ke jalan guna menyampaikan aksi penolakan.
Baca juga: GAPPRI: Pemerintah Kehilangan Pendapatan Rp 53 Triliun, 28 Persen Perokok Konsumsi Rokok Ilegal
Ketua Umum FSP-RTMM-SPSI Sudarto mengungkap, PP hingga Peraturan Menteri Kesehatan dinilai gagal mengakomodir aspirasi karena perumusannya minim keterlibatan para pemangku kepentingan.
Dalam merumuskan RPMK, ia mengklaim Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak melibatkan serikat pekerja dalam pembuatan peraturan tersebut.
Bahkan, pihaknya pernah sampai harus memaksa hadir dalam agenda public hearing yang digelar oleh Kemenkes beberapa hari lalu.
Hal itu disebut menjadi bentuk upaya serikat pekerja untuk memperjuangkan keterlibatannya.
Dalam kegiatan tersebut, Sudarto mendapati peraturan yang dibuat bahkan lebih ketat dan tidak menginduk pada peraturan sebelumnya.
Ia menyoroti peraturan mengenai kemasan polos tanpa merek yang diatur dalam RPMK.
Sudarto menilai bahwa kebijakan ini akan berdampak besar pada industri rokok dan pekerja yang bergantung pada sektor ini.
"Kami merasa hak kami tidak terlindungi dengan baik dan terus-menerus mengajukan protes," ucap Sudarto dikutip dari keterangan tertulis pada Kamis (12/9/2024).
Baca juga: GAPPRI: Kewajiban Kemasan Produk Tembakau Dibuat Polos Sama Saja Berikan Karpet Merah Rokok Ilegal
“Langkah-langkah berikutnya adalah kami akan tegas, tetapi kami perlu harmonisasi dengan mitra industri. Kami juga punya LBH sendiri. Kalau memang sukanya harus ada gerak di jalan, ya sudah,” sebut dia.
Meski demikian, sebelum turun ke jalan, FSP-RTMM-SPSI masih ingin berdialog terlebih dahulu dengan pihak terkait dan mempertimbangkan opsi litigasi jika tidak berhasil.
“Kami ingin mengambil jalan diplomasi dahulu, tetapi jika gagal, kami siap untuk bertindak lebih tegas,” kata Sudarto.