News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Industri Manufaktur China Berkontraksi, Anjlok ke Level Terendah Selama 5 Bulan Beruntun

Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivitas manufaktur di pabrik-pabrik China mengalami kontraksi karena terus membukukan penyusutan tajam selama lima bulan berturut-turut, mendekati rekor terendah pada bulan September.

Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia

TRIBUNNEWS.COM, BEIJING -  Aktivitas manufaktur di pabrik-pabrik China mengalami kontraksi karena terus membukukan penyusutan tajam selama lima bulan berturut-turut, mendekati rekor terendah pada bulan September.

Mengutip The Star, data Purchasing Managers’ Index (PMI) China menunjukan industri manufaktur Tiongkok per September 2024 mengalami kontraksi lantaran berada di level 49,3, anjlok dari 50,4 pada bulan sebelumnya.

Angka ini menunjukan bahwa industri manufaktur China masih di bawah level ekspansif atau 50. Mengalahkan angka 49,5 yang diharapkan di antara para ekonom yang disurvei oleh Reuters.

Baca juga: 2 Pemain Debutan Timnas Voli Putri Indonesia, Tantangan Maradanti Namira dan Putri Nur Tanpa TC

Produsen Tiongkok menilai penurunan ini terjadi dampak perlambatan ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan munculnya masalah krisis properti, alasan tersebut yang membuat permintaan domestik melemah.

Menambah kekhawatiran pasar China yang belakangan ini tengah tercekik kebijakan boikot ekspor kendaraan listrik China oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Untuk menekan pembengkakan kerugian sejumlah perusahaan manufaktur di China mulai mengurangi jumlah karyawan di tengah berkurangnya beban kerja dan kekhawatiran biaya. Namun cara tersebut nyatanya belum cukup mampu mengangkat industri manufaktur dari zona deflasi.

Hal itu diungkap langsung oleh Asosiasi Dealer Mobil China (CADA), dalam keterangan resminya CADA menjelaskan bahwa dealer mobil China mengalami kerugian gabungan hampir 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp303,70 triliun (satuan kurs Rp15.164) dalam kurun waktu delapan bulan terakhir.

“Konsumsi yang lesu menjadi penyebab kerugian dealer, situasi tersebut terjadi di tengah tingginya  tingkat persediaan grosir, yang berarti dealer terpaksa menjual stok berlebih dengan harga terendah,” ujar Asosiasi Dealer Mobil China.

Pemerintah China Suntik Stimulus

Mengantisipasi kontraksi yang berkepanjangan, Minggu lalu pemerintah Cina mengintensifkan sejumlah upayanya untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara. 

Salah satunya upaya Bank Rakyat China memangkas rasio persyaratan cadangan atau RRR, jumlah uang tunai yang harus dimiliki bank sebagai cadangan, sebesar 50 basis poin.  

Baca juga: Kemenperin: Indeks Kepercayaan Industri di September 2024 Stabil, 21 Sektor Manufaktur Ekspansi

Bank juga menurunkan suku bunga reverse repo tujuh hari dari 1,7 persen menjadi 1,5 persen, penurunan sebesar 20 basis poin. Pemotongan ini akan diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman utama (loan prime rate/LPR) dan suku bunga deposito.

Bahkan Bank sentral China juga memotong giro wajib minimum bagi bank, sebesar 0,5 persen dengan tujuan memberikan bank lebih banyak dana untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman. Adapun Pemotongan RRR tambahan masih dimungkinkan berlanjut hingga akhir tahun.

Tak sampai disitu, mengutip CNBC International Para pemimpin tinggi Tiongkok dilaporkan menggelar pertemuan tingkat tinggi yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, untuk membahas diakhirinya penurunan properti, dan menekankan perlunya dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih kuat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini