News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Terus Deflasi, Maknanya Daya Beli Masyarakat Merosot, Paylater Melonjak

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah penjaga toko menunggu pembeli di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (29/9/2023). Pasar Tanah Abang terlihat sepi pengunjung. Tribunnews/Jeprima

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto harus serius mengatasi merosotnya daya beli masyarakat yang semakin tajam belakangan ini, ditandai dengan deflasi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru.

Ketua Umum BPP Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Andi Rukman Karumpa mengatakan deflasi yang terjadi saat ini mencerminkan penurunan daya beli masyarakat.

Ekonomi di sektor riil lesu. Kondisi demikian harus segera diatasi.  "Penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor utama dari deflasi yang berkepanjangan ini," ujarnya di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.

Dia mengatakan, pengusaha di sektor konstruksi dapat berperan aktif dan dapat menjadi solusi untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Andi menekankan pentingnya keterlibatan kontraktor lokal di bawah naungan Gapensi dalam menciptakan lapangan kerja di masyarakat untuk menggerakkan lagi perekonomian di daerah.

"Keterlibatan kami tidak hanya akan memberikan pekerjaan, tetapi juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah," ujarnya.

Suasana sejumlah ruko terlihat tutup di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (29/9/2023). Pasar Tanah Abang terlihat sepi pengunjung, aha sendiri dan dilarang berjualan serta bertransaksi. Keputusan tersebut diharapkan dapat mengembalikan aktivitas jual beli di pasar. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Ia menyebut, sektor konstruksi memiliki efek berganda dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung daya beli masyarakat.

"Dengan meningkatkan investasi di sektor ini, kita bisa memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan," katanya. 

Deflasi Bulan September Lebih Dalam

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, deflasi bulan ini lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya yakni 0,03 persen.

"Deflasi pada bulan September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan bulan Agustus 2024 dan ini
merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan," kata Amalia.

Amalia menyatakan, kelompok penyumbang deflasi bulanan ini terbesar dari makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,59 persen dengan andil 0,17 persen. 

Selain itu, komoditas yang memberikan andil inflasi yakni ikan segar 0,02 persen, kopi bubuk sebesar 0,02 persen.

Kemudian, biaya kuliah akademi atau perguruan tinggi, tarif angkutan udara dan sigaret kretek mesin (SKM) yang memberikan andil masing-masing sebesar 0,01 persen.

Amalia bilang, deflasi sebesar 0,12 persen ini didorong oleh komponen harga bergejolak yang mengalami deflasi sebesar 1,34 persen. Komponen ini memberikan andil deflasi sebesar 0,21 persen.

Selain itu, komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil inflasi sebesar 0,01 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah bensin.

"Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras dan tomat," tuturnya.

Utang Paylayer Melonjak

Di tengah lesunya perekonomian, masyarakat cenderung menggunakan cara instan untuk memenuhi kebutuhan mendesak hingga yang tersier. Paylater menjadi pilihan yang banyak diambil masyarakat dalam berbelanja.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lonjakan tajam penggunaan paylater sebesar 89,20 persen secara tahunan (year on year) terkait utang masyarakat Indonesia lewat skema layanan bayar nanti atau Buy Now Pay Later (BNPL).

Jika ditotal angkanya mencapai Rp 7,99 triliun per Agustus 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya OJK,

Agusman berujar, meski pembiayaan Paylater naik, rasiopembiayaan macet atau Non Performing Financing (NPF) gross terjaga di posisi 2,52 persen.

"Piutang pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan (PP) per Agustus 2024 meningkat sebesar 89,20 persen yoy menjadi Rp7,99 triliun," ujar Agusman di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Saat ini, OJK masih mengkaji aturan terkait BNPL. Misalnya, mengenai persyaratan perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan BNPL, kepemilikan sistem informasi, perlindungan data pribadi, rekam jejak audit, sistem pengamanan, akses dan penggunaan data pribadi, kerja sama dengan pihak lain, serta manajemen risiko.

"Perkembangan industri fintech juga diiringi dengan banyak tantangan. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum," tambah Agusman.

OJK mencatat per Agustus 2024, dari total 147 perusahaan penyelenggara fintech P2P lending, sebanyak enam perusahaan belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp100 miliar.

Kemudian, per September 2024, terdapat 16 dari 98 penyelenggara P2P lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum Rp7,5 miliar.

"Dari 16 penyelenggara P2P lending tersebut, enam sedang dalam proses analisis permohonan peningkatan modal disetor," imbuh Agusman.

Kenaikan penggunaan paylater ini terjadi di tengah deflasi empat bulan beruntun yang terjadi sejak Mei-Agustus 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus menjadi 105,93 pada September 2024.(Tribun Network/bel/sen/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini