Pada 2022, impor gula mencapai angka tertinggi selama satu dekade, menunjukkan bahwa pola impor dengan melibatkan PPI tetap berlangsung meskipun kondisi pasokan dalam negeri kerap kali cukup.
"Kebijakan ini hanya membawa Lembong ke meja hijau, sementara menteri-menteri lain yang memprakarsai izin serupa tetap bebas dari tindakan hukum," tuturnya.
Tuduhan Terkait Surplus Gula yang Tidak Konsisten
Kejaksaan menuduh bahwa penetapan Lembong sebagai tersangka terkait dengan izin impor yang diberikan saat Indonesia dalam kondisi surplus gula berdasarkan rapat antarkementerian pada Mei 2015.
Meskipun begitu, kata Achmad, kejanggalan muncul karena keputusan serupa berulang kali dilakukan oleh menteri perdagangan lainnya di era yang sama tanpa konsekuensi hukum.
Misalnya, pada 2018, pemerintah mengumumkan swasembada gula, namun tetap memberikan izin impor sebesar 4,6 juta ton.
Pada 2021 dan 2022, surplus gula nasional kembali diklaim, tetapi angka impor mencapai rekor tertinggi pada 2022 dengan lebih dari 6 juta ton.
"Bahkan kebijakan impor beras menunjukkan pola serupa, pemerintah sering mengklaim swasembada, tetapi tetap mengimpor dengan alasan menjaga harga atau persediaan," tuturnya.
Tuduhan Manipulasi Transaksi dengan PT PPI
Kejaksaan menuduh bahwa Lembong memberikan izin impor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton kepada PT AP, sebuah perusahaan swasta, meskipun aturan mengharuskan impor gula dilakukan oleh BUMN.
"Yang menjadi keanehan, Direktur Pengembangan Bisnis PPI, Charles Sitorus, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Jika benar Lembong yang memberikan izin, maka tanggung jawab seharusnya berada padanya, dan peran PPI perlu dipertanyakan secara lebih rinci," paparnya.
Baca juga: Dirdik Jampidsus Abdul Qohar: Sosok Kunci Penetapan Tersangka Tom Lembong dan Suap Ronald Tannur
Sebagai BUMN, Achmad menyampaikan, PPI bertugas melaksanakan kebijakan dan distribusi gula yang diimpor sesuai izin dari kementerian, bukan untuk mengalihkan distribusi ke pihak swasta.
"Tuduhan bahwa PPI menjual gula yang seharusnya didistribusikan ke masyarakat tanpa koordinasi juga menimbulkan pertanyaan," ucapnya.
"Jika PPI aktif dalam distribusi atau transaksi yang melanggar aturan, maka semestinya tanggung jawab operasional berada pada PPI, dan peran Lembong seharusnya terbatas pada pemberian izin," sambungnya.