Tiga bulan pertama saat kebijakan tersebut diberlakukan, yaitu dari Januari hingga Maret, Hariyadi menyebut hotel langsung sepi.
Baca juga: Pemerintah Naikkan PPN Jadi 12 Persen, INDEF Ingatkan Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
"Hotel langsung sepi, lalu juga di daerah yang terkait dengan restoran, oleh-oleh itu langsung ngedrop. Nah sampai akhirnya pemerintah waktu itu mengevaluasi bahwa kebijakan itu tidak tepat, akhirnya dikembalikan lagi gitu," ucap Hariyadi.
Menurut Hariyadi, pemerintah seharusnya melihat anggaran perjalanan dinas bukan sebagai pengeluaran biasa.
Ia memandang anggaran perjalanan dinas ini sebenarnya juga berfungsi sebagai stimulus untuk daerah.
Sebab, pemerintah daerah turut memungut pajak dari hotel dan restoran. Belum lagi soal keterlibatan UMKM di mata rantai bisnis ini.
Berikutnya adalah PPN menjadi 12 persen. Ia memandang kenaikan ini, walaupun hanya 1 persen, akan menjadi suatu hal yang sensitif juga bagi masyarakat.
Hal itu kelak akan berimbas pada kelangsungan bisnis hotel dan restoran. Para pengusaha pun disebut sudah memberikan peringatan kepada pemerintah terkait dengan hal ini.
"Semua sektor rasanya sudah memberikan warning bahwa itu akan berdampak pada penurunan penjualan," ujar Hariyadi.
Hariyadi pun memandang rentetan tantangan yang dihadapi ini sebagai triple hit.
"Daya beli turun, ditambah PPN, ditambah lagi pemotongan anggaran, jadi kita kena triple hit. Tiga tekanan," tutur Hariyadi.
Akibat triple hit ini, mau tidak mau, Hariyadi menyebut pengusaha harus memasuki mode bertahan alias survival mode.
Pengusaha harus bisa mengendalikan biaya. Artinya, akan banyak penghematan yang dilakukan untuk ke depannya.
"Mengendalikan biaya itu macam-macam. Mungkin akan kejadian bahwa akan kita men-shutdown dulu untuk daily worker, misalnya kayak gitu," jelas Hariyadi.
"Memang daily worker kan tergantung dari omzet ya. Kalau penjualannya bagus ya mereka kerja, kalau enggak ya terpaksa harus di-shutdown," pungkasnya.