Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 diprediksi akan menambah beban bagi masyarakat.
Kebijakan ini, yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bisa menyebabkan lonjakan harga di berbagai sektor. Salah satunya adalah sektor energi, seperti tarif listrik.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan bahwa kenaikan PPN berpotensi menaikkan harga produk energi seperti harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif listrik, dan gas LPG.
"Dampaknya pasti harga produk akhirnya untuk all product di sektor energi pasti akan naik," katanya kepada Tribunnews, Jumat (22/11/2024).
Baca juga: PPN 12 Persen Bakal Bebani Masyarakat, YLKI Minta Ditangguhkan
Menurut Komaidi, kenaikan PPN 12 persen tidak hanya akan dirasakan oleh sektor energi, tetapi juga oleh sektor lainnya.
Dalam konteks energi, konsumen lah yang akan paling merasakannya karena kenaikan PPN ini pada akhirnya akan lebih membebankan mereka, bukan kepada pengusaha energi.
"Dalam konteks energi tentu nanti kalau tax itu akan di-carry over atau dibebankan ke konsumen. Kalau (pengusaha di bidang energi) sederhana. Pajak akan dikreditkan ke konsumen. Artinya mereka hanya wajib pungut saja," ujar Komaidi.
Namun, konsumen bisa saja tidak merasakan dampaknya secara langsung jika pemerintah memberikan subsidi untuk mengimbangi kenaikan ini.
"Kecuali kalau pemerinta punya instrumen lain untuk menyeimbangkan. Ada pajak, tapi tentu juga di sisi lain ada subisidi. Tentu akan berhitung dulu (pemerintah) secara kapasitas fiskal mampu atau tidak," ucap Komaidi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
"Sudah ada Undang-undangnya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa. Bukannya membabi buta," kata Sri Mulyani dalam Rapat dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (14/11/2024).
Bendahara negara itu menjelaskan, penerapan tarif PPN 12 persen itu sebagai salah satu 'tameng' bagi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam merespons krisis ekonomi global yang saat ini masih terjadi.
"APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya, namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespon dalam episode global crisis financial," jelasnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani mengakui bahwa penerapan tarif PPN 12 persen itu menuai pro dan kontra. Bahkan hal itu pun terjadi saat rapat dengan Komisi XI DPR RI.
Meski begitu, bendahara negara itu menyebut akan memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait dampak yang diperoleh atas kebijakan tarif PPN 12 persen.
"Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat, artinya walaupun kita buat policy tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi, atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, bahkan makanan pokok waktu itu debatnya panjang di sini," jelas Sri Mulyani.
Terakhir, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah juga tetap memberikan kelonggaran pajak agar daya beli masyarakat tidak tertekan.
Misalnya jenis barang dan jasa tidak dipungut biaya pajak.
"Sebetulnya ada loh dan memang banyak kalau kita hitung teman-teman pajak yang hitung banyak sekali bisa sampaikan detail tentang fasilitas untuk dibebaskan, atau mendapatkan tarif lebih rendah itu ada dalam aturan tersebut," ungkapnya.