News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Virus Corona

Orang Psikosomatis Bisa Ikut Merasa Sakit saat Baca Kabar Corona, Psikiater: Pilah-pilihlah Berita

Penulis: Ifa Nabila
Editor: Miftah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang pelancong internasional yang mengenakan masker di Bandara Internasional Los Angeles (LAX) pada 12 Maret 2020 sehari sebelum larangan bepergian penerbangan AS pada 26 negara Eropa sebagai bentuk pencegahan berkelanjutan terkait virus corona

TRIBUNNEWS.COM - Banyak orang yang mengalami kecemasan berlebihan saat virus corona mewabah hingga akhirnya mengklaim diri mereka juga terkena gejala corona.

Orang yang demikian kemungkinan besar mengalami psikosomatis di mana ia tidak bisa membedakan bahaya nyata dan yang dirasakan.

Sehingga saking cemasnya dengan bahaya corona, ia berpikir dirinya mengalami gejala corona mulai dari batuk hingga demam, padahal itu hanya pangkal dari kecemasannya sendiri.

Psikiater, dr Danardi Sosrosumihardjo menyebut lebih baik orang psikosomatis mengurangi frekuensi membaca berita corona demi ketenangan batinnya.

Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkapkan Danardi dalam tayangan DUA SISI unggahan YouTube Talk Show tvOne, Kamis (26/3/2020).

Baca: Psikiater Ungkap Banyak Pasien Ngaku Batuk hingga Demam Seperti Corona: Itu Gejala Psikosomatis

Baca: Tingkat Kematian Corona di Indonesia Tinggi, IDI: Pasien Covid-19 Bisa Sembuh karena Dua Hal Ini

Awalnya, Danardi menceritakan di tengah corona yang mewabah ini menimbulkan kecemasan pada banyak orang hingga paranoid.

Kecemasan tak hanya bersarang di pikiran, tapi bisa terwujud berupa penyakit fisik.

Hal ini bisa menyebabkan gejala psikosomatis di mana seseorang terpengaruh pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari keadaan yang sebenarnya.

"Jadi tanda-tanda kecemasan itu bisa diwujudkan dalam gejala psikisnya, apakah waswas, khawatir, sampai parno," kata Danardi.

"Atau juga diwujudkan dalam bentuk fisiknya. Ada teman mengatakan, itu gejala psikosomatis, itu benar," sambungnya.

Anggota Pusat Lingkungan dan Kesehatan Warga Asia mengenakan masker yang menggambarkan coronavirus tampil selama kampanye tindakan dalam pencegahan terhadap coronavirus COVID-19, di Seoul pada Kamis (26 Maret 2020). Presiden AS Donald Trump telah meminta alat uji virus coronavirus baru dari Korea Selatan, Moon Jae-in mengatakan pada 25 Maret, ketika Washington mendorong untuk segera membuka kembali ekonomi terbesar di dunia itu. (AFP/YONHAP) (AFP/-)

Danardi menyebut ada banyak pasiennya yang mengklaim memiliki gejala layaknya corona.

Dan setelah diperiksa fisiknya secara medis, ternyata tidak ada gejala apa-apa seperti yang dikeluhkan.

"Bahwa kemudian mencocok-cocokkan dengan gejala Covid-19," kata Danardi.

"'Saya kok jadi batuk kering ya dok? Saya kok jadi demam?' padahal ketika dipriksa suhunya normal."

"Batuk kering ketika kita coba lihat mulutnya tidak ada peradangan."

"Atau mungkin merasa berdebar jantungnya, itu (setelah diperiksa) oke, atau merasa sesak napas tapi paru-parunya juga oke," paparnya.

Baca: Respons Maruf Amin hingga PDI-P soal Wacana Larangan Mudik Lebaran 2020 untuk Cegah Corona

Baca: Lebaran, Warga Dilarang Mudik karena Ada Pandemi Corona: Bagaimana Skemanya?

Danardi menjelaskan orang-orang dengan tingkat kecemasan berlebih ini memancing pikirannya sendiri sehingga seolah gejala corona juga muncul dalam dirinya.

"Jadi ada memang orang yang dengan kecemasan berlebih itu mencoba merasakan fisiknya sakit, padahal fisiknya sebenarnya dalam batas normal, ada banyak," terang Danardi.

Danardi mengaku ada banyak pasien yang menghubunginya karena gejala yang dirasa seperti corona itu.

Ia pun mengajak para pasiennya untuk menenangkan pikiran di antaranya dengan cara relaksasi agar pikiran negatif soal corona pun hilang.

"Dan pasien-pasien seperti ini akan menjapri kepada saya dan menyampaikan 'Kenapa saya seperti ini?'," ujar Danardi.

"Kita ajak relaksasi, mungkin hiperventilasi, tarik napas panjang, mencoba untuk menentramkan diri, beribadah, itu bagus," jelasnya.

Bagi Danardi, orang psikosomatis memiliki daya adaptasi yang lemah sehingga jika ada bahaya sedikit saja langsung mempengaruhi pola pikirnya.

"Kita melihatnya bahwa ada orang-orang yang mempunyai daya adaptasi yang kurang kuat, ini malah akan menjadi lemah," kata Danardi.

Orang psikosomatis biasanya mengawali kecemasan dari seringnya menyimak atau membahas soal hal yang ia khawatirkan, misalnya corona.

Semakin banyak informasi yang diterima, terutama yang negatif, maka bukan kewaspadaan melainkan kebingungan yang ia dapat.

"Ini yang akan mencoba meng-coping, mekanisme ditingkatkan lagi, mencoba berdiskusi, dan mencoba mencari informasi yang lebih banyak," ujar Danardi.

"Itu kadang-kadang bukannya malah menjadi lebih tenang, tapi menjadi tambah bingung," sambungnya.

Danardi menyarankan untuk orang dengan gejala psikosomatis ini ada baiknya untuk mengurangi frekuensi membahas atau membaca soal corona.

Ada baiknya juga orang psikosomatis langsung berkonsultasi dengan dokter sehingga bisa tahu apa yang sebenarnya dialami dan bisa tenang.

"Nah, orang yang seperti ini harus pandai memilah. Bahwa 'Mana informasi yang saya terima, mana yang tidak harus saya dengar' atau lebih pas barangkali mengurangi lebih cocok," imbau Danardi.

"Mengurangi baca berita, mengurangi berdiskusi dengan keluarga, atau japri sama dokternya lebih bagus," imbuhnya.

Selain itu, orang-orang dengan daya adaptasi rendah ini juga disarankan untuk mengurangi akses media sosial yang bisa menambah kecemasannya.

"Betul, medsos-medsos ini memang ada yang ke kiri ke kanan, ada berita negatif, bahkan ada hoaks juga, jadi memang mengkhawatirkan," kata Danardi.

Berikut video lengkapnya:

Update data pasien corona Indonesia

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona (Covid-19), Achmad Yurianto kembali merilis data terbaru terkait kasus Covid-19 di Indonesia.

Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung BNPB, Yuri mengungkapkan terjadi penambahan jumlah pasien positif Covid-19 yang di Indonesia.

Yurianto menyebut pihaknya menemukan kasus baru pasien positif sebanyak 105 orang.

Dengan demikian, data hingga Kamis (26/3/2020) pukul 12:00 WIB, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 893 orang.

“Kita lihat ada penambahan kasus konfirmasi positif sebanyak 103,” ujar Yuri yang dkutip dari siaran langsung di YouTube BNPB Indonesia.

“Sehingga total pasien Covid-19 di Indonesia berjumlah 893 orang,” imbuhnya.

Dari data yang disampaikan oleh Yuri, kasus baru Covid-19 ini banyak ditemukan di wilayah DKI Jakarta yakni sebanyak 53 kasus.

“Kalau kita lihat sebarannya memang masih didominasi kasus yang kita temukan banyak di wilayah DKI Jakarta.”

“Sementara kita lihat di Sulawesi Selatan ada penambahan kasus yang cukup bayak 14 orang,” imbuhnya.

Kemduian secara akumulasi Yurianto menyebut juga sudah ada penambahan pasien yang sembuh sebanyak 4 orang.

Oleh karena itu jumlah kasus sembuh ada 35 orang.

Dalam konferensi persnya ini, Yuri juga mengungkapkan terkait pasien Covid-19 yang meninggal dunia.

“Sementara kasus kematian ada penambahan sebanyak 20 kasus, sehingga totalnya ada 78 orang,” tegasnya.

Adapun Update kasus Covid-19 di Indonesia per 26 Maret 2020 pukul 12.00 WIB yakni kasus kumulatif positif 893, pasien sembuh 35 orang serta kumulatif kematian sebanyak 78 orang.

(Tribunnews.com/ Ifa Nabila/ Isnaya)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini