TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona menimbulkan polemik.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto menyebut kebijakan tersebut merupakan anomali atau ketidaknormalan.
Pasalnya, saat ini pemerintah merealokasi anggaran negara besar-besaran untuk membantu masyarakat miskin yang terdampak wabah.
"Menurut saya kurang tepat, karena posisi kita sedang dalam masa pandemi Covid-19."
"Sangat anomali dengan kebijakannya sendiri yang merealokasi APBN dalam rangka membantu masyarakat miskin," ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Demokrat: Pemerintah Jangan Bawa Rakyat Susah
Agus menuturkan, kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang tidak konsisten.
Di satu sisi, masyarakat yang terdampak corona terbantu dengan pemberian bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu atau bantuan sembako.
Namun, dalam kebijakan terbarunya ini, masyarakat juga harus membayar kenaikan iuran BPJS.
"Di satu sisi merealokasi APBN untuk masyarakat miskin yang terkena dampak corona, di sisi lain dinaikkan iuran BPJSnya."
"Ini tidak konsisten antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain," tutur Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Dibanding menaikan iuran, Agus menjelaskan, seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan dalam struktur BPJS Kesehatan.
Baca: Iuran BPJS Naik, PKS Nilai Pemerintah Beri Contoh Buruk dan Tidak Peduli Terhadap Masyarakat
Misalnya data kepesertaan BPJS Kesehatan yang masih perlu dibenahi.
Agus menuturkan hal ini perlu dilakukan agar anggaran BPJS Kesehatan tepat sasaran.
"Selama ini data tentang kepesertaannya ini nggak jelas, antara peserta mandiri yang ditanggung oleh perusahaan swasta atau pun pemerintah," jelasnya.