Panas dia rasakan ketika mengenakan APD berupa baju hazmat. Dia menyebutkan bahwa baju itu tebalnya setara dengan terpal.
Selain itu sarung tangan yang dipakainya pun berlapis, masker juga berlapis, sepatu boots dan pelindung wajah alias face shield.
Tak tanggung-tanggung, D harus memakai pakaian itu selama delapan jam penuh dalam sehari.
“Enggak boleh makan, enggak boleh minum, enggak boleh buang air. Bayangin,” ucap dia.
Hampir setiap hari setelah selesai bertugas, baju dalam yang dia pakai basah lantaran dibanjiri keringat.
Sesekali D memandangi telapak tanganya yang selalu mengeriput kala melepas APD dari badan.
Sebagian dari teman-temannya memakai pampers agar bisa buang air kecil selama bertugas.
Namun, D tak melakukan itu. Dia memilih tidak makan dan minum banyak sebelum bertugas agar tak banyak buang air.
Namun, lambat laun D mulai terbiasa dengan situasi itu. APD layaknya pakaian sehari-hari yang sudah tidak perlu dikeluhkan lagi.
Dimaki maki pasien
Pekerjaan D mengharuskan dirinya untuk dekat dengan pasien. Dari mulai pasien yang ramah maupun tidak ramah sudah dia temui di sana.
Bahkan, tak jarang para perawat menjadi sasaran amarah para pasien.
Banyak pasien yang memaki perawat lantaran tidak kunjung diperbolehkan pulang. Hal itu dikarenakan hasil swab yang masih positif.
“Ada yang bilang, ‘Suster tuh enggak ngerti ya perasaan kita, kita tuh mau pulang. Kenapa kita positif terus'. Jadi nyalahin kita hasil tesnya positif terus,” kata D.