Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI)
membeberkan syarat kehalalan obat, termasuk vaksin untuk pengobatan berkaitan dengan distribusi
vaksin covid-19 yang akan didistribusikan pemerintah dalam waktu dekat.
Direktur Eksekutif LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan syarat tersebut sudah dikeluarkan MUI melalui Fatwa MUI nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan.
“MUI punya fatwa nomor 30 tahun 2013 tentang obat dan pengobatan,” kata Muti kemarin.
Muti menjelaskan bahwa obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan halal.
Namun, ia mengatakan ada pengecualian dimana penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan diperbolehkan asal memenuhi sejumlah syarat.
Salah satunya pada kondisi darurat yang apabila pengobatan itu tidak dilakukan dapat mengancam jiwa
manusia atau mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
Penggunaan bahan najis atau haram juga diperbolehkan apabila belum ditemukan bahan yang halal dan suci, serta adanya rekomendasi paramedis yang kompeten dan terpercaya bahwa dalam pengobatan tidak ditemukan obat
yang halal.
“Ada kondisi tertentu yang bisa membuat suatu produk obat itu diperbolehkan.
Tetap dinyatakan haram, tapi produknya diperbolehkan digunakan dalam kondisi tertentu,” kata Muti.
“Jadi ini penting sekali kenapa MUI harus bersama-sama dengan Badan POM, karena Badan POM yang
punya otoritas untuk memberikan rekomendasi, termasuk soal vaksin tadi,” lanjutnya.
Adapun penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya boleh
dengan syarat dilakukan pensucian.
Muti mencontohkan dalam kasus vaksin MR pada proses pengkajiannya terdapat kandungan babi didalamnya.
Pada saat itu MUI menyatakan vaksin MR haram dalam hal produknya, namun karena adanya
kebutuhan meskipun haram, MUI memperbolehkan vaksin itu dipergunakan.
“Karena belum ada alternative vaksin lain yang halal maka diperbolehkan untuk digunakan,” kata Muti