TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Angka kematian harian karena covid-19 naik lebih dari 10 kali lipat.
Dari data pada 4 Februari 2022 kemarin, 42 pasien Covid-19 meninggal dunia. Padahal, sebulannya atau 4 Januari 2022, ada 3 orang yang meninggal akibat Covid-19.
Ya, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia akhir-akhir ini memang menjadi sorotan bersamaan dengan meroketnya kasus varian Omicron.
Baca juga: Prediksi Menuju Puncak Penularan Omicron, Bagaimana Dampaknya Terhadap Bursa Saham?
Baca juga: Menkes: Kasus Omicron di Tangerang dan Bekasi Lampaui Rekor Varian Delta, Jakarta dan Bali Menyusul
Sejak Desember 2021 hingga saat ini, kasus harian Covid-19 yang dilaporkan berkisar dari ratusan hingga ribuan kasus.
Indonesia kembali melaporkan lebih dari 10.000 kasus baru pada 29 Januari 2022. Lalu pada 3 Februari 2022 melaporkan lebih dari 20.000 kasus.
Bahkan kini melebihi 30.000 kasus, yaitu per 6 Februari terdapat 36.057 kasus baru.
Tentang kematian ini diakui Mantan Direktur WHO Asia TenggaraProf Tjandra Yoga Aditama,
"Memang kenaikannya jauh lebih rendah dari trend peningkatan kasus, tetapi kejadian wafat kan amat menyedihkan dan tidak dapat tergantikan," katanya pada Tribunnews.com Sabtu (5/2/2022).
Tren kematian Covid-19
Terakhir, pada 11 Oktober 2021 dilaporkan 65 kasus kematian. Setelah itu angka kasus kematian berada di bawah 65.
Melansir laman Covid19.go.id, berikut ini tren kasus kematian Covid-19 di Indonesia dalam 2 pekan terakhir:
24 Januari: 7
25 Januari: 20
26 Januari: 7
27 Januari: 7
28 Januari: 7
29 Januari: 17
30 Januari: 18
31 Januari: 17
1 Februari: 28
2 Februari: 25
3 Februari: 38
4 Februari: 42
5 Februari: 44
6 Februari: 57.
DKI terbanyak
Per 6 Februari 2022, total kasus Covid-19 di Indonesia adalah 4.516.480 kasus dengan 188.899 kasus aktif.
Penambahan kasus pada 6 Februari adalah 36.057 kasus.
Baca juga: Update Corona Indonesia 4 Februari 2022: 32.211 Kasus Baru, 42 Kematian Harian
Baca juga: 400 Warganya Positif Covid-19, Lurah Sunter Agung: Mayoritas Isoman, Tidak Ada Kasus Meninggal
Adapun total kasus sembuh yakni 4.183.027 kasus. Selain itu total kasus meninggal yakni 144.554 kasus.
Jumlah kasus terbanyak berada di provinsi DKI Jakarta dengan 908.085 kasus. Kemudian disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Benarkah kenaikan kematian ini karena kasus omicron? Berikut analisa ahli
Dua Analisa Pakar Kesehatan FKUI Tentang Tren Kenaikan Kematian Akibat Covid-19
Menurut Prof Tjandra Yoga Aditama ada dua analisa mendalam dari kasus kematian ini.
Pertama tentang varian Omicron yang berhubungan dengan peningkatan angka kematian.
Omicron sejauh ini telah mencatat lima orang meninggal.
Dapat dianalisa varian mana yang menyebabkan angka kematian naik menjadi sampai 42 orang kemarin.
"Kalau ternyata meninggal akibat varian Delta (karena yang meninggal akibat Omicron tercatat lima orang) maka perlu juga digali apakah memang jumlah pasien varian Delta juga makin meningkat sehingga ada peningkatan kematian ini," ungkap pakar kesehatan FKUI ini.
Di sisi lain, kematian akibat varian Omicron, maka tentu perlu digali kenapa varian Omicron sampai menimbulkan kenaikan kematian seperti ini.
Baca juga: Omicron Menyebar Luas, 50 Anggota Parlemen Iran Positif Covid-19
Kedua, analisa yang lebih tehnik klinis. Dalam hal ini akan baik kalau dilakukan audit untuk mengetahui penyebab kematian.
Seperti yang biasa dilakukan maka dapat dianalisa kelompok umur yang wafat, jenis kelamin, ada tidaknya komorbid dan kalau ada maka apa jenisnya, status vaksinasi dan yang juga penting adalah dimana tempat meninggalnya, apakah di rumah sakit atau di rumah.
"Data yang didapat akan punya dampak klinik bagaimana penanganan pasien gawat dan juga dampak kebijakan kapan pasien harus masuk rumah sakit, atau bentuk kebijakan terkait lainnya," jelas Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini.
Epidemiolog Griffith University Australia: Tren Akan Terlihat Akhir Februari hingga Awal Maret
Terpisah, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, saat ini tren kematian yang meningkat akibat varian Omicron belum terlihat.
"Namanya kematian itu adalah indikator telak yang akan terlihat biasanya setelah kasus meningkat paling cepat 3 minggu," kata Dicky dilansir Kompas.com, Minggu (6/2/2022).
Dicky menambahkan, saat ini memang mulai terlihat adanya peningkatan kasus kematian, akan tetapi tren ini baru akan terlihat di akhir Februari atau awal Maret.
Pemerintah diharapkan genjot vaksinasi booster
Hal itu karena orang-orang yang meninggal sekarang, artinya sudah terpapar sejak 3-4 minggu sebelumnya.
Sehingga untuk mengetahui dampak dari varian Omicron terhadap kasus kematian, bisa dilihat 3-4 ke depan.
Dijelaskan juga bahwa angka kematian adalah penanda keparahan suatu wabah atau pandemi.
"Semakin banyak kematian berarti parah," imbuh DIcky.
Dicky khawatir kematian akan banyak terjadi di daerah yang memiliki penduduk berisiko tinggi, seperti lansia dan orang dengan komorbid yang belum di-booster.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa segera menggalakkan vaksinasi booster untuk kelompok rentan.
Dicky berpesan bahwa satu kasus kematian pun harus dianggap sebagai pelajaran berharga.
Adanya orang yang meninggal karena penyakit ini artinya penyakitnya tidak terdeteksi, tidak mendapat dukungan perawatan, terlambat ditangani, terapi pengobatannya tidak memadai, atau buruknya respons pemerintah.
Kasus Naik, Ini Beda Gejala Covid-19 Ringan, Sedang, hingga Berat
Isolasi bentuk mekanisme pengendalian kasus positif Covid-19 di masyarakat. Ketentuannya pun berbeda, tergantung derajat keparahan gejala pada masing-masing individu.
Masyarakat yang melakukan isolasi perlu mencermati gejala mulai yang ringan hingga berat, agar tak berakibat fatal.
Derajat keparahan gejala Covid-19 dibagi dalam 4 tingkatan. Yaitu Tanpa Gejala, Gejala Ringan, Gejala Sedang dan Gejala Berat.
Pertama, tanpa gejala. Tidak ditemukan adanya gejala klinis pada orang positif Covid-19. Dalam hal ini, testing satu-satunya cara memastikannya. Untuk tingkatan ini, disarankan berkala bagi masyarakat dengan mobilitas dan interaksi tinggi dengan orang lain.
Terpenting, jika merasa sehat tetap harus disiplin protokol kesehatan.
Kedua, gejala ringan. Ada gejala namun tanpa sesak napas atau penurunan saturasi oksigen. Biasanya dapat ditemukan gejala satu atau lebih seperti demam, batuk, kelelahan, nyeri otot, sakit kepala, diare, mual, muntah, tidak mampu mencium bau, serta lidah tidak mampu merasakan makanan.
Baik orang yang bergejala ringan dan tanpa gejala wajib melakukan isolasi atau isolasi mandiri (isoman) di kediaman masing-masing dengan semua syarat terpenuhi, seperti: berusia kurang dari 45 tahun, tidak memiliki komorbid atau penyakit penyerta, tempat isoman memiliki kamar dan kamar mandi terpisah.
Serta memenuhi syarat tambahan sesuai surat edaran Kementerian Kesehatan yaitu dapat mengakses layanan telemedicine atau layanan kesehatan lainnya, berkomitmen menyelesaikan isolasi sebelum diizinkan keluar, dan dapat menggunakan alat pengukur saturasi oksigen.
Jika orang yang positif tanpa gejala dan orang dengan gejala ringan tidak memenuhi satu saja dari syarat tersebut, maka perlu melakukan isolasi di tempat isolasi terpusat yang tersedia di wilayah tempat tinggal.
Ketiga, gejala sedang. Yaitu yang bergejala disertai sesak napas dan napas cepat, namun saturasi oksigennya masih berada diatas 93 persen.
Keempat, gejala berat. Pada gejala berat, orang yang terkonfirmasi positif mengalami sesak napas, napas cepat, dan ditambah minimal salah satu dari gejala seperti frekuensi napas lebih dari 30x/ menit, gangguan pernapasan berat, dan saturasi oksigen kurang dari 93 persen.
Untuk orang dengan gejala sedang dan berat, maka perlu dirujuk oleh petugas puskesmas setempat ke RS rujukan. DPJP akan menentukan apakah perlu dirawat di ruang isolasi atau ruang ICU.
Namun, apabila ternyata pasien yang dirujuk termasuk ke dalam kategori gejala ringan, pihak RS berhak merujuk balik pasien ke puskesmas dengan memastikan pasien tersebut mendapatkan perawatan Covid-19 yang sesuai baik di tempat isolasi terpusat maupun isolasi mandiri.
Jika pasien telah selesai perawatan di rumah sakit, maka RS akan melakukan rujuk balik pasien ke puskesmas setempat. Paska perawatan, pasien berhak menerima pemantauan dari petugas puskesmas selama 7 hari berturut-turut. Selama pemantauan, penting untuk melaporkan secara berkala hasil pengukuran tekanan darah, suhu, laju nadi, laju pernapasan serta saturasi oksigen.
Untuk itu, seseorang dinyatakan dapat menyelesaikan isolasi bagi yang tidak bergejala (OTG) setelah melakukan isolasi mandiri setidaknya 10 hari.
Bagi yang bergejala, melakukan minimal 10 (sepuluh) hari isolasi sejak diperiksa dengan alat uji diagnostik, ditambah dengan sekurang-kurangnya 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan.
Apabila terdapat gejala setelah hari ke 10, maka isolasi mandiri masih tetap dilanjutkan sampai dengan hilangnya gejala tersebut ditambah 3 hari.
(Tribunnews.com/Rina Ayu) (KOMPAS.com/Nur Fitriatus Shalihah)