TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Kebijakan terbaru diumumkan pemerintah terkait penanganan Pandemi Covid-19.
Syarat tes antigen ataupun PCR tak lagi diberlakukan. Aturan ini dihapus untuk masyarakat yang melakukan perjalanan domestik.
Apakah ini artinya covid-19 di Indonesia layak disebut endemi? Berikut ulasannya.
Syarat PCR dan Antigen Dihapus Jika Pelaku Perjalanan Sudah Vaksin Lengkap
Menko Marives Luhut Binsar Padjaitan dalam konferensi pers virtual yang disiarkan Youtube Sekretariat Presiden, Senin, (7/3/2022) mengumumkan kebijakan terbaru terkait tes covid-19 untuk perjalanan domestik
"Pelaku perjalanan domestik dengan transportasi darat laut maupun udara yang sudah melakukan vaksinasi kedua dan lengkap sudah tidak perlu menunjukkan bukti tes antigen maupun PCR negatif," kata Luhut dalam konferensi pers virtual yang disiarkan Youtube Sekretariat Presiden, Senin, (7/3/2022).
Dengan kebijakan tersebut, maka penumpang pesawat, kapal laut, dan transportasi darat dengan tujuan domestik tidak perlu melampirkan hasil tes Covid-19.
Kebijakan tersebut kata Luhut dalam rangka transisi menuju aktivitas normal.
Nantinya akan ada surat edaran yang akan diterbitkan oleh kementerian dan lembaga terkait yang akan terbit dalam waktu dekat.
Luhut mengatakan berdasarkan data yang dievaluasi pemerintah, tren kasus harian Covid-19 nasional menurun sangat signifikan.
Turunnya kasus harian dibarengi dengan turunnya jumlah rawat inap dan tingkat kematian.
"Secara khusus perlu kami informasikan bahwa kondisi tren penurunan kasus konfirmasi harian terjadi di seluruh provinsi di Jawa dan Bali bahkan tingkat rawat inap di rumah sakit seluruh provinsi Jawa Bali juga telah menurun terkecuali DIY, Namun DIY, kami perkirakan akan turun dalam beberapa hari ke depan ini," katanya.
Sebelumnya, pemerintah seolah menunjukkan sikap wait and see melewati gelombang ketiga covid-19.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan sejauh ini, pemerintah belum dapat menyimpulkan Indonesia telah melewati puncak gelombang ketiga Covid-19 ini.
"Pemerintah belum menyatakan kita ini sudah melewati gelombang ketiga atau melewati puncak omicron. Belum pernah menyatakan seperti itu, belum," katanya Rabu pekan lalu.
Saat itu Kemenkes masih memonitor kenaikan kasus dalam seminggu kedepan, dimana ada potensi peningkatan kasus pasca libur panjang kemarin.
Kasus Omicron melebih puncak kasus Delta, yakni 64.718 kasus konfirmasi positif pada (16/2/2022), rekor tertinggi sejak pandemi berada di Indonesia.
Pihaknya berharap telah melewati gelombang ketiga. Artinya kasus tertinggi yang pernah dilewati adalah 64 ribu.
Namun, karena ada potensi lonjakan kasus akibat libur panjang minggu lalu, maka kasus konfirmasi harian selama satu pekan depan perlu dimonitor.
Satgas IDI Ingatkan soal Monitoring, Jika Kasus Naik Cabut
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban mendukung kebijakan perjalanan rute domestik tanpa tes antigen dan PCR lagi.
Ia menyetujui, aturan itu dengan sejumlah catatan.
"Saya setuju kebijakan ini. Namun harus dengan monitoring. Enggak bisa langsung tiru negara lain," kata dia dikutip dari akun twitternya, Senin (7/3/2022).
Meski setuju, pria yang biasa disapa Profesor Berri ini mengingatkan kebijakan ini benar-benar diawasi dan jika kasus covid-19 naik maka wajib dicabut.
"Dilakukan dengan pemantauan ketat, jadi kalau misalnya angka harian naik atau angka bed occupancy rate RS di kota-kota itu naik, kebijakan itu segera dicabut," kata Zubairi
Dirinya mengingatkan, agar cakupan vaksinasi Covid-19 pada lansia terus diperluas.
Serta mengawasi ketat jumlah kasus harian konfirmasi Covid-19 selama dua minggu kedepan ini.
"Notabene vaksinasi di atas 60 tahun masih rendah, belum 70 persen. Jika dalam dua minggu aman, kasus menurun, dan enggak ada klaster baru yang besar, kenapa tidak kita masuk ke endemi," ungkapnya.
Pakar Kesehatan Ingatkan 8 Hal ini
Terpisah, pakar kesehatan FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan, ada 8 hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan penghapusan syarat tes PCR dan antigen untuk perjalanan domestik.
"Karena sudah diambil kebijakan tersebut, ada hal yang harus diperhatikan mulai dari kesiapan fasilitas hingga cakupan vaksinasi yang terus diperluas," kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (7/3/2022).
Pertama, secara umum kasus Covid-19 sudah melandai, meski memang masih ada fluktuasi.
Kemudian, rumah sakit dan sistem kesehatan harus benar-benar siap jika ada peningkatan kasus.
Ketiga, vaksinasi primer perlu terus ditingkatkan sampai 70 persen dari total penduduk, bukan 70 persen dari sasaran.
Lalu, vaksin booster masih harus ditingkatkan maksimal, angka sekitar 5-6 persen masih terlalu rendah.
"Hal kelima adalah memperhatikan angka kematian nasional yang perlu dikendalikan, sebaiknya kembali ke data awal Januari," tutur mantan petinggi WHO Asia Tenggara ini.
Juga, angka positivity rate dan angka reproduksi tentu sudah menurun, akan baik jika sudah dibawah 5 persen dan reproduksi dibawah 1.
Keenam, surveilans harus terus ketat sehingga kalau ada peningkatan kasus maka terdeteksi sejak awal.
"Terakhir juga WGS (whole genom sequencing) perlu ditingkatkan untuk wanti-wanti kalau ada varian baru, termasuk juga surveilan limbah," pesan direktur pasca sarjana YARSI ini.
Epidemiolog Sebut Vaksin Tak Bisa Gantikan Testing
Epidemolog Indonesia dari Griffith University Australia Dicky Budiman menanggapi kebijakan pemerintah yang menghapus tes antigen dan polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat perjalanan domestik.
Dicky pun menyayangkan adanya penghapusan tes antigen dan PCR bagi pelaku perjalanan domestik ini.
Pasalnya menurut Dicky, testing Covid-19 adalah hal yang penting dilakukan untuk melihat situasi pandemi saat ini.
Bahkan Dicky mengibaratkan testing sebagai mata kita terhadap virus.
Karena tanpa adanya tes yang memadai, maka kita tidak bisa melihat dimana atau ke arah mana virus Covid-19 ini menyebar.
“Tes ibarat mata kita terhadap virus. Tanpa tes yang memadai kita tidak dapat melihat di mana virus atau ke mana arahnya,” dilansir Kompas.com, Senin (7/3/2022).
Lebih lanjut Dicky menuturkan testing memang bisa dihilangkan sebagai syarat perjalanan.
Namun pemerintah juga harrus mengubah polanya dengan yang bersifat target oriented atau surveilans pada satu wilayah tertentu.
Agar kondisi kesehatan seseorang bisa terdeteksi dari testing pemerintah pada lokasi tempat tinggalnya.
“Sebaiknya ada uji publik dulu untuk melihat potensinya. Setidaknya (testing) di satu lokasi selama satu minggu supaya memiliki dasar data yang kuat dalam konteks (kondisi penyebaran Covid-19) di Indonesia,” terang Dicky.
Selain itu Dicky menyebut, pemerintah bisa melakukan penguatan di aspek lainnya.
Seperti pengetatan penggunaan masker bagi masyarakat yang akan pergi ke luar kota, misalnya dengan menggunakan masker N-95.
Dicky meminta pemerintah tidak buru-buru untuk menerapkan kebijakan penghapusan testing bagi pelaku perjalanan domestik ini.
Menurut Dicky, vaksinasi tetap tidak bisa menggantikan testing karena keberadaan Covid-29 di Indonesia masih menyebar secara luas.
“Dunia sudah memiliki vaksin (Covid-19), tapi itu tidak berarti kita berhenti dalam upaya untuk melihat di mana virus itu berada sehingga kita dapat beradaptasi dengan cepat jika dan ketika varian atau gelombang baru merebak,” jelasnya.
Dicky menambahkan kombinasi vaksinasi dan testing Covid-19 ini menjadi penentu suatu negara untuk mengendalikan pandemi.
Oleh karena itu jika kebijakan penghapusan testing ini diambil secara serampangan, Dicky justru khawatir akan memperparah situasi pandemi di Indonesia.
“Tanpa melakukannya dengan tepat, yang dapat terjadi adalah lebih banyak rawat inap dan kematian, dan terus memperpanjang atau memperburuk pandemi,” pungkasnya.
Kebijakan Penghapusan Tes PCR dan Antigen Tak Langsung Berlaku
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan aturan tes antigen dan PCR untuk perjalanan transportasi masih tetap berlaku untuk saat ini.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, aturan masih belum disahkan oleh pemerintah karena baru menjadi keputusan rapat terbatas yang dilaksanakan pada hari ini, 7 Maret 2022.
Sebab, keputusan penghapusan tes antigen dan PCR masih perlu dilakukan beberapa proses pengesahan sebelum diberlakukan.
"Seperti yang telah disebutkan, hal tersebut akan dituangkan terlebih dulu dalam Surat Edaran Kementerian dan Lembaga terkait, sebelum diterapkan di lapangan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/3/2022).
Dengan demikian, aturan perjalanan transportasi saat ini masih merujuk pada Surat Edaran Satgas Penanganan Covid 19 Nomor 22 Tahun 2021.
Pada surat edaran tersebut, tes antigen dan PCR masih diwajibkan sebagai syarat yang harus dipenuhi masyarakat jika ingin melakukan perjalanan transportasi kereta api, laut, dan pesawat.
"Hingga saat ini, terkait syarat perjalanan dalam negeri dan internasional, Kemenhub selalu merujuk pada Surat Edaran Satgas Penanganan Covid 19. Adapun aturan yang berlaku sampai saat ini masih merujuk pada SE Satgas no 22 tahun 2021," jelasnya.
Pihaknya akan terus melakukan penyesuaian segera apabila Satgas Covid 19 melakukan revisi terhadap ketentuan yang ada dan akan segera mengumumkannya ke masyarakat.
Covid-19 di Indonesia Sudah Berubah Dari Pandemi Jadi Endemi?
Lantas, benarkah penghapusan syarat tes PCR atau antigen untuk perjalanan domestik ini menunjukkan adanya harapan baru, covid-19 berubah dari endemi menjadi pandemi?
Diketahui Indonesia hari ini Rabu (2/3/2022) menjalani dua tahun pandemi Covid-19. Harapan menuju endemi perlu waktu.
Sebelumnya, Zubairi juga memaparkan sejumlah syarat pandemi menjadi endemi.
Pertama, Omicron mendominasi wilayah Indonesia.
Kedua, Kasus baru dan aktif turun drastis dan syarat ketiga, Vaksinasi penuhi 70 persen.
Syarat keempat, Lebih baik jika booster capai 40 persen.
Kelima, Tidak berperilaku seolah-olah pandemi sudah berakhir.
"Termasuk enggan melakukan tes dan pakai masker. Serta sabar," kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam subspesialis Hematologi-Onkologi (Kanker) ini.
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menegaskan sebelum memasuki masa endemi, penanganan pandemi harus terkendali.
Artinya, laju penularan atau reproduction number harus dibawah 1.
Kondisi laju penularan sangat rendah pernah dirasakan Indonesia dalam kurun waktu September hingga Desember 2021.
"Tentunya untuk menuju endemi dibutuhkan waktu yang lebih panjang dalam kategori apakah kita sudah menunju arah endemi." kata dia dalam konferensi pers virtual, Selasa (1/3/2022).
Ia menuturkan, pemerintah terus berupaya membuat kondisi pandemi ini terkendali, sebelum benar-benar menuju endemi,
"Jadi jangan jauh-jauh dulu ngomongin endemi. Penanganan pandemi ini terkendali ini yang penting. Jadi ada kemudian masuk kita ke dalam posisi pra endemi dan nanti kita akan menunju situasi endemi," imbuh Nadia.
Nadia mengatakan, kriteria-kriteria Covid-19 aman terkendali ataupun masa pra endemi sedang disusun.
Seperti laju penularan kurang dari 1 dalam kurun waktu tertentu. Maupun jumlah kasus kematian kurang dari 3 persen serta kabupaten atau kota berada pada level PPKM 1.
"Kita harus bersama-sama bukan hanya pemerintah pusat tapi juga oleh pemerintah daerah. ," jelas Nadia yang juga ditunjuk sebagai juru bicara vaksinasi Covid-19.
(Tribunnews.com/Taufik Ismail/Rina Ayu) (Kompas.com/Tatang Guritno/Isna Rifka Sri Rahayu)