TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini ramai diperbincangkan terkait adanya varian Covid-19 hibrida, yakni gabungan antara varian Delta dengan Omicron atau Deltacron.
Deltacron mengandung gen dari kedua varian, menjadikannya sebagai rekombinan virus Covid-19.
"Dalam kasus ini, ini kan deltacron bukan nama resmi. Baru nama yang diberikan sementara."
"Deltacron nama yang diinikan (populerkan) oleh media. Kalau oleh lembaganya tetap Delta dan Omicron," ungkap Pakar Epidemiologi Griffith University, Dicky Budiman pada Tribunnews.com, Minggu (20/2/2022).
Baca juga: Dari Demicron ke Deltacron, Benarkah Ada Gabungan Varian Delta dan Omicron? Ini Ulasan Ahli
Dalam kasus ini, disebut ada dua varian Covid-19 yaitu Omicron dan Delta pada satu orang yang sama.
Dicky mengatakan, temuan ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
"Karena menjelang akhir tahun lalu ada penelitian yang menemukan itu. Meskipun sampel sedikit, saat itu dianggap sebagai pencemaran. Ketika sikuesing, sampelnya tercemar karena tercampur," kata Dicky.
Pembicaraan terkait hal ini tadinya sempat mereda.
Menurut pengamatan Dicky, temuan kasus tersebut bukanlah sampel yang tercemar.
"Mungkin ini terus diteliti dan akhrinya UK Health Security Agency (UKHSA) menemukan itu. Meskipun masih dalam jumlah sedikit," katanya.
Penemuan ini, meski terus dalam penelitian tetap menjadi sesuatu yang harus diwaspadai.
"Kita tidak boleh abai dan membiarkan pelonggaran tanpa terkendali. Apalagi Indonesia terbilang memiliki kemampuan terbatas dalam tes Whole Genom sikuensing," tambahnya.
Sementara itu, dikutip dari Live Science, temuan kasus Deltacron dikonfirmasi melalui pengurutan genom yang dilakukan ilmuwan di IHU Méditerranée Infection di Marseille, Prancis, menurut sebuah makalah yang diunggah ke database pracetak medRxiv pada 8 Maret 2022.
Kasus tersebut telah terdeteksi di beberapa wilayah Prancis.
Kemudian, menurut database internasional GISAID, kasus Deltacron juga ditemukan di Denmark dan Belanda.
Baca juga: Bukan Varian Baru Covid-19, Deltacron Disebut Hasil Kesalahan Lab
Baca juga: Pakar Epidemiologi Menduga Deltacron Merupakan Varian Re-kombinan
Lantas, seberapa bahaya varian Deltacron?
Mengutip The Guardian, dengan hanya sejumlah kecil kasus Deltacron yang teridentifikasi sejauh ini, belum ada cukup data tentang tingkat keparahan varian atau seberapa baik vaksin melindunginya.
Soumya Swaminathan, kepala ilmuwan di Organisasi Kesehatan Dunia, mentweet pada Selasa:
"Kami telah mengetahui bahwa peristiwa rekombinan dapat terjadi, pada manusia atau hewan, dengan berbagai varian #SarsCoV2 yang beredar."
"Perlu menunggu eksperimen untuk mengetahui sifat-sifat virus ini. Pentingnya pengurutan, analitik, dan berbagi data secara cepat saat kita menghadapi pandemi ini."
"Kita perlu mengawasi perilaku rekombinan ini dalam hal penularannya dan kemampuannya untuk lolos dari perlindungan kekebalan yang diinduksi vaksin,” kata Prof Lawrence Young, ahli virologi di University of Warwick.
“Ini juga berfungsi untuk memperkuat kebutuhan untuk mempertahankan pengawasan genetik."
"Ketika virus terus bersirkulasi, terutama pada populasi yang kurang divaksinasi dan pada orang yang kekebalannya akibat vaksin menurun, kami kemungkinan besar akan melihat lebih banyak varian termasuk yang dihasilkan melalui rekombinasi.”
Menurut UKHSA, varian tersebut tidak menunjukkan tingkat pertumbuhan yang mengkhawatirkan.
"Ini telah terlihat di Inggris beberapa kali, dan sejauh ini tampaknya sangat langka di mana saja di dunia, dengan hanya beberapa lusin urutan di antara jutaan Omikron," kata Barrett.
“Jadi saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini, meski saya yakin akan terus dipantau," jelasnya.
(Tribunnews.com/Latifah/Aisyah Nursyamsi)