TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pencabutan status atau penghentian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pandemi Covid-19 masih menunggu hasil kajian.
Jokowi mengatakan, pencabutan status PPKM harus melalui kajian mendalam yang mencakup sero survei untuk melihat tingkat antibodi pada populasi masyarakat.
"Belum, untuk PSBB, PPKM belum sampai di meja saya. Nanti kalau selesai, karena ini menyangkut sero survei, menyangkut kajian-kajian."
"Saya minta harus detail, jangan sampai keliru memutuskan sehingga sebaiknya kita sabar menunggu,” ungkap Jokowi, Senin (26/12/2022).
Menurut Jokowi, apabila hasil sero survei sudah di atas 90 persen, artinya imunitas masyarakat sudah baik.
Jokowi juga mengungkapkan, dengan memiliki kekebalan tubuh yang baik, masyarakat akan lebih siap dalam menghadapi ancaman virus lain.
Baca juga: Saran Ahli Epidemiologi Terkait Rencana Pencabutan PPKM oleh Pemerintah
“Asal nanti sero survei kita sudah di atas 90 ya kita artinya imunitas kita sudah baik, ada apapun dari manapun yang enggak ada masalah,” ujar Jokowi.
Mengenai kasus harian Covid-19, Jokowi menyebut saat ini kasus telah turun di bawah 1.000 kasus.
Akan tetapi, Jokowi mengingatkan agar hal tersebut perlu dilihat apakah karena imunitas masyarakat telah membaik atau karena hal lain.
“Jadi tunggu kajian dari Kementerian Kesehatan, dari para pakar epidemiolog semuanya agar memutuskannya nanti benar."
"Tergantung kajiannya kalau selesai kita harapkan akhir tahun ini selesai, dan sero survei dan kajiannya,” tandasnya.
Baca juga: Lonjakan Covid-19 di China Hantam Perekonomian hingga Mengakibatkan Produksi di Pabrik Terganggu
Nataru Potensi Perburukan
Sementara itu Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman turut menanggapi soal rencana penghentian PPKM.
Menurut Dicky, hingga kini ancaman Covid-19 masih ada, terlebih ketika pergerakan masyarakat meningkat, seperti pada libur Natal dan Tahun Baru 2023 ini.
Selain itu, diprediksi pergerakan masyarakat pada libur Nataru tahun ini mencapai 44,17 juta orang
Oleh karena itu Dicky menilai jika penghentian PPKM ini justru mengundang masalah baru di tengah ancaman situasi global.
"Situasi ini menjadi sangat rawan ketika kita menghadapi Nataru (Natal dan tahun baru), terus mau dicabut PPKM-nya."
"Ini kan namanya mengundang masalah di tengah ancaman situasi global yang tidak menentu itu," kata Dicky dilansir Kompas.com, Senin (26/12/2022).
Lebih lanjut Dicky pun mengungkap kekhawatirannya soal pergerakan masyarakat yang bisa membawa virus dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Baca juga: Kaleidoskop 2022: Deretan Tragedi Pilu Akibat Pelonggaran PPKM
Terlebih kini pemeriksaan dan pelacakan (testing and tracing) untuk mendeteksi Covid-19 semakin rendah.
Dicky pun meminta agar aturan PPKM yang telah ditetapkan sebelumnya hingga 9 Januari mendatang untuk diselesaikan terlebih dahulu.
Karena pada masa libur Natal dan Tahun Baru ini terdapat potensi memburuknya kondisi Covid-19 di Indonesia.
"(Aturan) PPKM-nya sampai 9 Januari, menurut saya selesaikan dulu itu, karena Natal dan tahun baru ini punya potensi perburukan," ucap Dicky.
Dicky menambahkan, situasi pandemi Covid-19 saat ini masih krisis, WHO pun belum berani mendeklarasikan dunia terbebas dari Covid-19.
Baca juga: Ahli Sarankan Pencabutan PPKM Perlu Ditunda Hingga Setelah Natal dan Tahun Baru
Di beberapa negara juga terdapat kenaikan kasus Covid-19, seperti China yang kasusnya tembus 250 juta sepanjang Desember 2022.
Meskipun secara umum situasi Covid-19 sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan dua tahun pertama, termasuk di Indonesia dari indikator infeksi, beban fasilitas kesehatan, maupun tingkat kematian.
Namun, indikator itu nyatanya belum menenteramkan. Situasi bisa terkendali dan relatif aman jika banyak masyarakat yang mendapat vaksinasi Covid-19 dosis lengkap dan menerapkan protokol kesehatan.
"Artinya kalau bicara modal imunitas itu sebagai modal yang bersifat berkelanjutan, modalnya lebih menentramkan, maka berarti cakupan vaksinasi yang dibangun, vaksinasi penuh primer maupun booster, itu harus di atas 80 atau 85 persen," ungkap Dicky.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com/Fika Nurul Ulya)