Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Jelang akhir tahun, Covid-19 tunjukkan tren kenaikan kasus.
Diketahui kasus Covid-19 didominasi oleh subvarian EG.5.
Baca juga: Cegah Penyebaran Covid-19 EG.5, Masyarakat Diminta Terapkan Prokes Saat Libur Natal dan Tahun Baru
Dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), EG.5 pertama kali dilaporkan pada 17 Februari 2023.
Kemudian ditetapkan sebagai varian dalam pemantauan (VUM) pada 19 Juli 2023.
Sejauh ini, risiko kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh EG.5 dinilai masih rendah.
Meski begitu, Pakar Ahli Kesehatan Masyarakat Sekaligus Epidemiolog Dicky Budiman ingatkan jika berpotensi membahayakan bagi kelompok rawan.
Baca juga: WHO Tetapkan Subvarian EG.5 Jadi ‘Variant of Interest’
Kelompok rawan seperti orang lanjut usia, pasien komorbid hingga anak-anak yang belum mendapatkan perlindungan vaksin.
"Risiko kematian itu Covid-19 secara umum di bawah 1 persen dan keparahan pun tidak lebih 5 persen, kecil sekali," kata Dicky pada keterangannya, Kamis (21/12/2923).
Namun efek ini akan berbeda jika mempunyai kelompok penduduk rawan yang besar, seperti lansia dan komorbid tadi.
Di Indonesia, kelompok lansia setidaknya ada 5 persen dan pasien bisa capai lebih 10 persen.
"Nah ini kalau mereka tidak terproteksi dengan imunitas vaksin atau booster (Covid-19 ) membuat angka kematian cukup bermakna karena satu persen dari satu juta, 10 ribu. Ini yang harus diperhatikan," tegasnya.
Diketahui, jika subvarian EG.5 merupakan turunan dari varian Omicron.
Mutasi ini dikenal memiliki kemampuan atau menginvasi antibodi yang dibentuk sistem imunitas.
Baik imunitas yang terbentuk dari infeksi atau vaksinasi.
"Jadi dia (mampu) menembus itu (antibodi). Sehingga re-infeksi disebabkan EG.5 ini menjadi lebih besar. Artinya bicara re-infeksi itu potensi berbahaya. Kalau sudah terinfeksi Covid-19 lagi, gejala lama sembuhnya," terang Dicky.
Misalnya, gejala batuk hingga nyeri akan lebih lama sembuh.
Tubuh juga lebih cepat terasa lelah dan lemah saat beraktivitas.