“Tidak ada pembenaran untuk menjual bayi, apapun alasannya. Apabila memang hendak menyerahkan anak untuk diadopsi, gunakan cara-cara benar yang legal,” ujarnya.
Praktik perdagangan bayi, kata dia, diketahui juga terjadi karena permasalahan sosial ekonomi. Seperti karena orangtua yang sudah memiliki banyak anak dan tidak lagi sanggup menafkahi buah hatinya karena terhimpit masalah ekonomi, sehingga memutuskan menjual anaknya.
“Banyak juga kejadian jual beli bayi dilakukan karena orangtua yang menginginkan anak tidak sabar mengikuti prosedur pengadopsian anak. Untuk itu, Komisi IX yang membidangi urusan kesehatan tersebut meminta pemerintah mempermudah dan menyederhanakan proses dalam tahapan proses adopsi,” katanya.
Dalam proses adopsi anak, lanjut dia, pemerintah daerah telah menyiapkan tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (TP3A) yang akan melakukan penilaian terhadap calon orang tua adopsi.
“Untuk keamanan dan kenyamanan pihak-pihak terkait, memang diperlukan berbagai langkah yang sangat rigid. Tapi penyederhanaan perlu dipertimbangkan agar praktik adopsi ilegal tidak semakin menjamur,” ujarnya.
“Dengan kemudahan prosedur adopsi anak, kami di DPR berharap tidak ada lagi orang tua yang hendak mengadopsi dengan memilih cara ilegal untuk mendapatkan anak. Pemerintah harus betul-betul memfasilitasi,” tambahnya.
Masalah pengangkatan anak juga belum dianggap serius di Indonesia. Sebab dilaporkan, sebagian pemerintah daerah tidak mengalokasikan anggaran cukup untuk memproses pengangkatan anak, sehingga sidang tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak (TIPA) tidak bisa digelar. Sidang TIPA sendiri adalah salah satu tahapan proses pengangkatan anak melalui jalur legal.
“Komisi IX DPR mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengalokasikan anggaran mengenai proses pengangkatan anak. Karena sebenarnya ada banyak pasangan menikah yang bersedia mengadopsi anak tapi terhalang karena persoalan-persoalan administrasi seperti ini,” ucapnya.
Soroti adanya perdagangan anak lewat sindikat luar negeri
Lebih lanjut, Arzeti menyoroti adanya praktik-praktik perdagangan anak melalui sindikat luar negeri. Sebab ada juga beberapa kasus ditemukan perdagangan bayi hingga ke luar negeri. Pihaknya pun mengaku khawatir dengan nasib bayi-bayi yang ditampung di tempat tidak semestinya oleh kelompok sindikat perdagangan anak.
“Kita harus serius menangani permasalahan ini. Pemerintah juga harus memastikan nasib anak-anak yang tidak jadi diadopsi. Harus ada jaminan keselamatan untuk bayi atau anak yang menjadi korban perdagangan oleh pihak tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Sebagai informasi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kasus perdagangan bayi dalam tiga tahun terakhir mengalami kenaikan, meski di tahun 2022 terjadi penurunan. Di tahun 2020 terdapat 213 kasus, tahun 2021 terdapat 406 kasus dan tahun 2022 terdapat 219 kasus.
Sedangkan, Komnas Perlindungan anak mengurai pada tahun 2021 terdapat 11 kasus perdagangan anak dan bertambah pada tahun 2022 dengan 21 kasus.
Oleh karena itu, Arzeti meminta sinergitas dari seluruh stakeholder dalam memerangi kasus perdagangan bayi. Ia berharap dengan kerja sama dan upaya pemangku kebijakan serta kontribusi dari masyarakat, praktik penjualan bayi tidak semakin merajalela.