TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Hasil penelitian terbaru di Inggris menunjukkan, 2,3 juta pemilih “leave” atau Inggris keluar dari Uni Eropa, yang dikenal dengan Britain Exit atau Brexit, menyesalkan pilihannya.
Jika referendum kedua dimungkinkan, demikian hasil penelitian, Inggris akan tetap berada di Uni Eropa, yang diinginkan kubu Britain Remain atau Brimain pimpinan Perdana Menteri David Cameron.
Hingga 7 persen dari orang-orang yang memilih Leave untuk Brexit di referendum Uni Eropa sekarang menyesal atas pilihan mereka sendiri, demikian kata The Independent, Jumat (1/7/2016)
Ketika hasil survei diproyeksikan ke para pemilih pekan lalu, Kamis (23/6/2016), mereka akan mengurangi jumlah pemilih “leave” hingga 2,3 juta, membalikkan hasil menjadi “remain”.
Penelitian oleh Opinium menemukan, 3 persen dari mereka yang memilih “remain” juga menyesali pilihan mereka.
Rakyat Inggris sekarang terfokus pada prioritas dalam negosiasi ke depan, untuk melanjutkan program “leave” dan negosiasi untuk keluar secara resmi dari blok UE.
Lebih dari setengah dari mereka yang telah disurvei juga merasa, baik ekonomi maupun posisi Inggris di dunia, telah memburuk.
Namun, satu dari 10 orang mengatakan mereka tidak percaya Brexit akan dilaksanakan.
"Saya berharap kami memiliki kesempatan untuk memilih lagi," kata Mandy Suthi, warga yang memilih “leave” dan menambahkan bahwa ia "sangat kecewa" atas pilihannya.
"Saya pribadi yang memilih ‘leave’ meyakini kebohongan ini. Saya menyesal lebih dari apa pun, saya merasa suara saya benar-benar dirampok," kata Khembe Gibbons, penjaga pantai dari Bury St Edmunds.
Seorang pemilih yang memperkenalkan dirinya Adam kepada BBC mengatakan, dia akan merubah suara pro-Brexit jika ia tahu konsekuensi jangka pendek, yakni dampak buruk pada ekonomi Inggris.
"Saya terkejut bahwa kami memilih ‘leave’, saya tidak berpikir bahwa itu akan terjadi," katanya.
Teken petisi
Lebih dari 4 juta orang warga London, atau Inggris umumnya, telah menandatangani petisi yang menyerukan referendum UE kedua.
Namun, pemerintah Inggris telah mengesampingkan tuntutan itu. Perdana Menteri David Cameron menanggapi petisi itu dengan sebuah sebutan yakni "neverendum".
Adam Drummond, dari Lembagan enelitian Opinium, mengatakan, ada perpecahan mendalam di kalangan pemilih Brexit dan bagaimana Inggris harus bergerak maju.
Sekitar 43 persen orang berpikir Inggris tidak mungkin untuk dapat tetap di pasar tunggal, yang menurut lebih dari sepertiga responden mengatakan itu adalah prioritas utama mereka.
Isu-isu kunci lainnya yang membatasi imigrasi dan mengakhiri pasar bebas tenaga kerja menjadi sorotan pasca-Brexit.
Mayoritas responden juga menginginkan pemilihan umum yang akan digelar sebelum negosiasi resmi soal Brexit dimulai.
Sejumlah tokoh sudah mengungkapkan keinginan untuk maju bertarung menggantikan posisi Cameron dan melanjutkan negosiasi keluar dari UE secara resmi.