"Jika orang menganggap ini masalah besar, mereka salah," tambah U Nyi Bu.
Pada tahun 2012, bentrokan menyebabkan ribuan orang Rohingya melarikan diri dari ibukota negara bagian Sittwe dan mencari tempat berlindung dalam kamp sementara.
Lima tahun kemudian, mereka masih bergantung pada bantuan pangan.
Namun kekurangan gizi menjadi pemandangan umum ditambah dengan kurangnya layanan medis.
Tidak ada jawaban yang mudah, dan kedua belah pihak berkutat dalam ketidakpercayaan dan prasangka.
Setelah pemilu bersejarah pada tahun 2015, pemenang Nobel Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara tersebut.
Namun dia tidak memiliki kendali atas pasukan keamanan, yang terus bertindak menurut kemauan mereka sendiri.
Suu Kyi dikritik karena tidak berbicara untuk hak-hak orang Rohinghya.
Jika melakukan hal itu, Suu Kyi berrisiko menjauhkan konstituen utamanya, sekelompok etnis berbeda yang hanya bersatu karena ketidaksukaan mereka terhadap orang Bengali.
Suu Kyi telah mencoba membuka ruang dialog, meminta agar istilah emosional Bangali dan Rohingya dihindari, dan menggunakan "Muslim" sebagai gantinya sebuah komisi khusus yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan telah membuat rekomendasi sementara, termasuk seruan untuk akses tanpa hambatan bagi pekerja bantuan dan media.
Sebuah resolusi PBB untuk meluncurkan misi pencarian fakta ke Negara Bagian Rakhine telah diblokir oleh Pemerintah Myanmar, dengan mengatakan bahwa hal itu akan menjadi langkah provokatif.
Dengan akhir yang belum kelihatan, pembunuhan rahasia dan penyangkalan masih akan terus berlanjut, menjadikan risiko pemberontakan menjadi lebih kuat.
PBB menyalurkan bantuan di tengah kekhawatiran terjadinya genosida.