News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Takamikura Untuk Pergantian Kaisar Jepang Mulai Dibuat di Kyoto

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para pekerja khusus membuat Takamikura tempat podium khusus untuk pergantian Kaisar Jepang 30 April 2019 mendatang

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Takamikura atau singgasana bagi Kaisar Jepang mulai dibongkar dan pertama kali diperlihatkan kepada pers kemarin (19/8/2018).

"Takamikura mulai dibongkar dan mudah-mdahan ini sudah bisa dibawa ke Tokyo untuk persiapan acara pergantian Kaisar Jepang 30 April 2019 mendatang," ungkap sumber Tribunnews.com Senin ini (20/8/2018).

Kekaisaran Kyoto, terutama Shishinden, biasanya ditutup bagi umum. Kali ini saja dibuka bagi pers untuk melihat dimulainy apekerjaan pembongkaran Takamikura untuk singgasana Kaisar yang akan dipakai nanti saat pergantian Kaisar jepang.

Pembongkaran lalu dibawa dengan kendaraan khusus ke Tokyo, hanya lewat darat, lalu diperbaiki dipercantik semuanya di Tokyo dipasang kembali di lokasi untuk pergantian tahta kekaisaran 2019. Diperkirakan Oktober sudah ulai pekerjaan perbaikan dan pemasangan kembali tersebut.

Takamikura atau Takhta Krisantemum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk singgasana dari Kaisar Jepang.

Penggunaan istilah "Takhta Krisantemum" juga dapat digunakan untuk merujuk kepala negara dan Kekaisaran Jepang itu sendiri. Bunga krisantemum atau bunga Kiku sebagai tanda kekaisaran dan kepangkatan yang digunakan oleh Kaisar Jepang.

Kekaisaran Jepang merupakan monarki tertua di dunia. Menurut buku sejarah Jepang, Nihonshoki, Kekaisaran Jepang didirikan oleh Kaisar Jinmu pada 660 SM dan kaisar yang terkini, Akihito, adalah kaisar yang ke-125.

Ini berdasarkan catatan yang tertulis sejak masa pemerintahan Kaisar Ojin pada awal abad ke-5.

Meskipun demikian ternyata ada delapan orang Maharani (kaisar wanita) pernah memerintah Jepang pada suatu masa, ini tidak mungkin lagi terjadi pada masa kini akibat undang-undang yang dibuat oleh Badan Rumah Tangga Kekaisaran dan Badan Penasehat Raja pada pertengahan abad ke-19.

Kaisar Jepang atau Tenno Heika bertindak sebagai pendeta tertinggi dalam agama Shinto, walaupun kuasanya telah dikurangkan oleh konstitusi setelah Perang Dunia II.

Menurut konstitusi Jepang, sang Kaisar merupakan simbol kesatuan negara dan rakyat. Ia tidak memiliki kuasa politik yang sebenarnya dan dianggap sebagai kepala negara seremonial dan seorang monarki konstitusional.

Pemerintah Jepang saat ini tengah menyusun rancangan undang-undang guna merevisi Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran yang terutama bermaksud untuk memungkinkan pengangkatan wanita menjadi Maharani, juga kaisar dari garis keturunan wanita.

Rancangan undang-undang tersebut ditargetkan akan diserahkan pada badan legislatif parlemen atau Diet bulan Maret 2006.

Badan konsultatif yang dibentuk Perdana Menteri Koizumi guna membahas revisi ini November 2005 mengajukan laporan proposal- yaitu Konferensi Pakar Mengenai Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran, diketuai oleh Hiroyuki Yoshikawa, mantan Rektor Universitas Tokyo, antara lain tentang nama sebutan untuk pria yang masuk ke dalam keluarga kaisar dengan jalan menjadi suami dari Maharani.

Muncul beberapa usulan untuk menetapkan gelar Kouhai atau Kousei bagi suami Maharani.

Poin-poin penting dalam laporan akhir itu, yakni:

Gelar kaisar atau Tenno dan putra mahkota (Kotaishi) dapat dipergunakan untuk wanita.

Suami Maharani menyandang sapaan resmi Baginda atau Heika, sama seperti sapaan resmi untuk kaisar/Maharani dan permaisuri, sedangkan keluarga kaisar lain menyandang sapaan resmi Paduka atau Denka.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini