Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto berada di London, Inggris. Dia juga sudah mengunjungi Uni Emirat Arab. Selama hampir dua minggu, Prabowo yang menjabat sejak Oktober, telah sangat aktif menjalankan misi diplomatik hampir di seluruh dunia.
Di Beijing, Cina, ia bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, kemudian mengadakan pembicaraan dengan Presiden AS Joe Biden di Washington. Sebelumnya, dia berbicara lewat telepon dengan presiden terpilih, Donald Trump, dan mengucapkan selamat atas kesuksesannya. Setelah itu, Prabowo pun kemudian menghadiri pertemuan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan ke KTT G20 di Rio de Janeiro.
Jadwal perjalanan yang padat menunjukkan satu hal yang penting, kata Andreas Ufen, pakar Asia Tenggara di lembaga pemikir Institut Studi Global dan Area Jerman (GIGA) di Hamburg. Prabowo lebih menekankan peran internasional Indonesia dibandingkan para pendahulunya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Dia ingin membuat Indonesia lebih dikenal secara internasional dan oleh karena itu menerapkan kebijakan luar negeri yang proaktif. Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia telah berupaya untuk mendorong kebijakan luar negeri yang bebas dan mandiri. Bahkan selama Perang Dingin, negara tersebut tidak mau bergabung dengan salah satu blok, tapi masih berpartisipasi aktif. Prabowo melanjutkan kebijakan ini dalam membentuk hubungan internasional," kata Andreas Ufen.
Persiapan Indonesia jelang pemerintahan Trump
Bukan kebetulan bahwa setelah menjabat, Prabowo langsung mengunjungi Cina dan Amerika Serikat, kata Denis Suarsana, kepala kantor Konrad Adenauer Foundation di Jakarta. "Ia tidak hanya menunjukkan bahwa kedua negara adalah mitra yang paling penting bagi Indonesia, tapi juga bahwa kedua negara mempunyai kepentingan yang sama dalam sudut pandang Indonesia. Dan ketika ia kemudian mengambil bagian dalam KTT APEC di Peru dan pertemuan G20 di Brasil, dia juga secara tegas berkomitmen terhadap multilateralisme."
Pada saat yang sama, Prabowo juga harus mempersiapkan Indonesia menghadapi pemerintahan Trump yang akan datang, yang arah politik dan ekonomi internasionalnya belum dapat ditebak.
Ketika Prabowo membagikan percakapan teleponnya dengan Donald Trump di media sosial, ia menunjukkan bahwa ia berusaha menjaga hubungan pribadi yang baik dengan Trump, kata Suarsana.
"Prabowo tentu mengharapkan kebijakan yang lebih pragmatis terhadap Indonesia dari Trump. Secara khusus, diharapkan AS bisa lebih terlibat di bidang impor nikel. Dalam hal ini, ada optimisme tertentu di Indonesia bahwa pemerintahan Trump sebenarnya dapat "ditangani" dengan sangat baik."
Khawatir kebijakan Tarif oleh Trump
Pada saat yang sama, ada sejumlah hal yang harus dipikirkan, lanjut Suarsana. "Jika Trump benar-benar mengenakan tarif sebesar 10 hingga 20 persen pada seluruh impor dan, khususnya, mengambil tindakan terhadap upaya Cin menghindari tarif ini lewat jalur perdagangan tidak langsung, misalnya melalui negara-negara Asia Tenggara, Indonesia juga dapat terkena dampak negatif yang sangat besar. Karena Indonesia secara alami terintegrasi ke dalam rantai pasokan Cina."
Di sisi lain, Indonesia terus menunjukkan komitmennya sebagai mitra Amerika secara militer. Angkatan laut kedua negara mengadakan latihan bersama di dekat pulau Batam. Manuver ini dipandang sebagai upaya keduanya untuk melawan dominasi Cina di wilayah tersebut, menurut laporan portal online Asia Times. Namun Indonesia tidak memposisikan dirinya melawan Cina, kata Andreas Ufen.
"Prabowo berusaha menjaga hubungan baik dengan AS dan Cina. Dengan melakukan hal ini, ia mengikuti kebijakan yang tersebar luas di kawasan. Hampir semua negara berupaya menjaga hubungan baik dengan Cina dan AS dan tidak memihak pada satu pihak."
Perubahan kebijakan terhadap Sembilan Garis Putus?
Dalam pertemuan Prabowo dengan Xi Jinping, kedua negara menandatangani pernyataan bersama yang mengesankan bahwa Indonesia mengakui Sembilan Garis Putus yang dirumuskan Cina. Garis ini kontorversial karena menandai wilayah yang diklaim Cina, termasuk Kepulauan Natuna. Pengumuman ini menyebabkan keresahan besar di wilayah tersebut. Pernyataan bersama yang ditandatangani menyebabkan keresahan besar. Kementerian Luar Negeri RI kemudian menyatakan Indonesia tidak mengakui klaim teritorial Cina.
Fakta bahwa Indonesia menandatangani deklarasi bersama tersebut mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman diplomatis pemerintahan Prabowo, kata Andreas Ufen dalam wawancara dengan DW.
"Tapi saya rasa Indonesia tidak akan lebih condong ke Cina. Prabowo pada dasarnya mewakili posisi yang jelas-jelas condong ke Amerika. Selain itu, militer Indonesia mendapatkan hampir seluruh peralatan militernya dari negara-negara NATO, sangat sedikit yang berasal dari Cina. Dan Indonesia sangat bergantung pada Barat, khususnya Amerika, dalam hal kebijakan keamanan dan ekonomi."
Kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif
Hal serupa juga dilihat Denis Suarsana. Secara garis besar, hubungan Cina dan Indonesia baik. Perekonomian kedua negara saling bergantung dalam banyak hal. Dan Indonesia juga sudah menyatakan ingin bergabung dengan negara-negara BRICS.
"Di Barat, hal ini terkadang dianggap seolah-olah negara ini menjauh dari komunitas negara-negara Barat. Menurut saya, tidak demikian," kata Suarsana.
"Prabowo ingin bertukar pikiran tidak hanya dengan Cina, tapi juga dengan banyak kawasan dan negara di dunia. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan keinginan Indonesia untuk bergabung dengan OECD. Ini keijakan luar negeri yang independen. Orang-orang di Jakarta yakin bahwa hal ini yang terbaik bagi negara."
Diadaptasi dari artikel DW berbehasa Jerman