"Saya sudah membuat makan siang dan kami siap makan," katanya.
"Sekitar tengah hari, ada yang mengetuk pintu."
"Paman suami saya berlari ke arah kami sambil berkata, 'ISIS ada di Kocho'."
Kelompok teroris itu menggiring 1.200 penduduk kota ke sekolah setempat.
"Mereka memerintahkan kami untuk masuk Islam. Tak ada yang masuk Islam. Setelah itu mereka membawa para pria. Kami tak tahu ke mana mereka membawa mereka," katanya.
Saksi mata mengatakan kepada PBB bahwa para pria itu dibawa pergi dan ditembak.
Terlepas dari laporan itu, Hayfa terus yakin pada harapannya "bahwa ia akan melihat suaminya dan kembali bahagia".
Baca: Fakta Baru Kasus Novy Chardon, Wanita Asal Surabaya yang Dibunuh Suaminya yang Bule di Australia
Tetapi pada suatu hari di bulan Agustus 2014, mimpi buruk Hayfa dan para perempuan Yazidi lainnya justru baru dimulai.
Selama lebih dari dua tahun, Hayfa diperdagangkan di antara militan ISIS di Irak dan Suriah, dibeli dan dijual 'sekitar 20 kali'.
"Banyak orang membawa saya, menyiksa saya, memukul saya," katanya.
Ia berontak terhadap para penawannya kapan saja ia bisa, menentang perintah mereka untuk membuka pakaian bagi calon pembeli.
"Saya menolak untuk menunjukkan tubuh saya kepada mereka," katanya.
"Kami harus menunjukkan tangan kami. (Berkulit) putih dianggap baik. Dan mereka akan melihat apakah rambut kami indah dan panjang."
Hayfa berulang kali diperkosa, tetapi ketakutan terbesarnya adalah kehilangan anak-anaknya.