"Mereka mengambil putra tertua saya dari saya selama satu bulan karena saya tak mau tidur dengan penculik saya," katanya.
"Mereka mengikat tangan dan kaki saya, menutup mata saya dan menyumbat mulut saya. Mereka memukul saya dan membuat saya terkunci di sebuah ruangan."
"Setelah itu saya membiarkan mereka tidur bersama saya supaya saya bisa mendapatkan anak saya kembali."
Merasa nyaman di tempat baru
Hayfa dan putra-putranya akhirnya melarikan diri dari ISIS ketika mertuanya membayar seorang penyelundup manusia untuk membeli kebebasannya.
Mereka tiba di Toowoomba, Queensland dengan visa kemanusiaan tahun lalu, bergabung dengan komunitas Yazidi di sana yang telah mencapai lebih dari 800 orang.
Dua anaknya belajar di taman kanak-kanak dan sekolah setempat, sementara Hayfa belajar bahasa Inggris di sekolah kejuruan.
"Saya sangat nyaman di sini bersama anak-anak saya," katanya.
"Yang paling penting adalah kehidupan anak-anak saya, bukan hidup saya. Dan tentu saja jika suami saya kembali, hidup saya akan benar-benar indah."
Tetapi, menurut pekerja Palang Merah Australia -Sue Callender -yang berusaha menemukan nasib Ghazi, kemungkinan itu kecil.
Sue adalah bagian dari Tim Penelusuran lembaga kemanusiaan itu, yang bekerja untuk menghubungkan kembali orang-orang yang telah dipisahkan oleh konflik, migrasi atau bencana.
"Ghazi hilang di sebuah daerah bernama Kocho dan kami tahu bahwa banyak Yazidi ditangkap di Kocho dan juga banyak yang dieksekusi dengan mengerikan," katanya.
"Kami hanya berharap, demi Hayfa, dia ditemukan hidup-hidup, tapi itu mungkin tak terjadi."
Lima tahun setelah -apa yang sekarang dikenal sebagai -Pembantaian Kocho, penggalian 17 tempat yang diduga kuburan massal di sekitar kota itu telah dimulai.