News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Warga Jepang Pilih Mengembalikan Barang yang Ditemukan Kecuali Payung, Ini Alasannya

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yasaka Koshindodi Kyoto sebagai tempat paling populer paling banyak dipakai sebagai tempat foto instagram masyarakat, peringkat yang dibuat perusahaan Snaplace Shinagawaku Tokyo Jepang.

Banyaknya jumlah payung yang dipakai warga Jepang mendorong fenomena ini.

Mengetahui banyak orang akan lupa untuk mengklaim payung mereka, Satoshi, seorang mantan penduduk Suginami-ku, Tokyo, mengatakan ia akan "menipu" Kantor Barang Hilang untuk memberinya payung jika dia kehujanan.

Satoshi menggambarkan jenis payung paling umum, yaitu payung plastik bening yang dijual di setiap toko seharga 500 yen (Rp 62 ribu).

Karena ada begitu banyak payung tergeletak di Kantor Barang Hilang, Satoshi selalu mendapatkan payung gratis.

Maka, mungkin kejujuran tidak selalu dikedepankan.

Faktanya, Jepang memiliki sejarah yang rumit dengan kejujuran, kata Behrens.

Misalnya soal perawatan kesehatan.

Sampai 10 atau 20 tahun yang lalu, sangat wajar bagi dokter di Jepang untuk merahasiakan diagnosa dari pasien mereka.

Sebaliknya, dokter hanya akan memberi tahu keluarga pasien.

Jadi, seorang pasien tidak akan tahu apakah mereka menderita kanker, misalnya.

"Orang-orang Jepang percaya bahwa pasien mungkin akan kehilangan keinginan untuk hidup, maka, keluarga dekat akan mencoba untuk bertindak seperti tidak ada yang salah," kata Behrens.

"Orang Barat terkejut mendengarnya."

Baru-baru ini, kebiasaan ini sudah mulai berubah, tetapi itu membuat beberapa orang, seperti Behrens, percaya orang Jepang pada dasarnya tidak lebih jujur dibanding kita semua.

Behrens mengatakan orang Jepang dikondisikan dengan "ketakutan" yang berasal dari kepercayaan Buddha tentang reinkarnasi.

Meskipun mayoritas orang Jepang tidak mengidentifikasi diri dengan agama yang terorganisir, banyak yang percaya pada praktik Shinto dan Buddhisme rakyat.

Penekanannya ada pada kehidupan spiritual setelah kematian, yang memainkan peran besar dalam pemakaman.

Setelah tsunami melanda timur laut Jepang pada tahun 2011, banyak yang kehilangan tempat tinggal, tanpa harta, makanan atau air.

Tetapi bahkan dalam kesulitan, orang-orang menunjukkan keberanian untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.

Behrens menyamakan ini dengan etos Buddhis "gaman" yang mirip dengan kesabaran atau ketekunan: untuk memikirkan orang lain daripada diri sendiri.

Dilaporkan secara luas di media penjarahan di daerah-daerah yang terdampak di Jepang jauh lebih sedikit dibanding di daerah yang sama-sama hancur di negara lain.

Faktanya, penjarahan adalah sama sekali di luar karakter Jepang, kata Tamura.

Namun, dia menunjukkan satu contoh, yang mengungkapkan wawasan yang menarik tentang jiwa manusia.

"Setelah reaktor nuklir di Fukushima rusak karena gempa 2011, daerah itu ditutup selama berbulan-bulan karena radiasi yang tinggi," kata Tamura.

"Pencurian hanya terjadi karena sama sekali tidak ada polisi atau siapa pun di sekitar yang bisa menyaksikan tindakan kriminal."

Tamura menggambarkan konsep hito no me; atau 'mata masyarakat'.

Bahkan tanpa kehadiran polisi, pencurian tidak akan terjadi karena ada hito no me.

Tetapi di tempat di mana tidak ada siapapun yang menyaksikan, pencurian memang terjadi.

Dalam Shintoisme, segala sesuatu, dari batu hingga pohon, memiliki roh.

Sementara Shintoisme yang terorganisasi adalah praktik minoritas di Jepang, objek 'maha tahu' menembus budaya.

Di sinilah asal dugaan Behrens orang Jepang dimotivasi oleh "ketakutan"; jika Anda selalu diawasi dan watak alami Anda adalah memikirkan orang lain terlebih dahulu, wajar jika Anda rela repot-repot menyerahkan barang yang hilang.

Kolektivisme

Secara umum, orang-orang di Asia Timur berbagi sifat kolektif daripada sifat individualistis yang seringkali dimotivasi oleh egoisme.

Mereka memprioritaskan orang lain dan terlibat dalam perilaku yang menguntungkan kelompok.

Sementara Behrens merasa pesimistis dengan generalisasi itu di awal kariernya, dia percaya bahwa secara keseluruhan semangat itu memang ada.

Dalam sebuah penelitian, para ibu AS dan Jepang diminta untuk membicarakan aspirasi mereka untuk anak-anaknya.

Behrens mendapati ibu-ibu Jepang menginginkan anaknya menjalani kehidupan futsuu (rata-rata atau biasa), tetapi itu adalah sesuatu yang jarang diinginkan orang Amerika.

Memang tidak semua ibu AS ingin anak mereka menjadi superstar internasional.

Tetapi keinginan orang Jepang untuk hidup biasa saja sangat mencolok.

"Pandangan kolektif adalah tentang kepemilikan.

Dikucilkan dari kelompok akan menjadi trauma paling signifikan bagi kesehatan mental," kata Behrens.

"Sangat penting untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dengan cara tertentu.

Dengan melakukan perbuatan baik, mengembalikan dompet; Anda merasa di masa depan orang lain akan melakukan hal yang sama. "

"Itu adalah sesuatu yang saya percaya sudah ditanamkan dalam diri kita," katanya.

"Ada keindahan yang ditanamkan dalam diri kita untuk melakukan sesuatu untuk orang lain.

Ketika seseorang menyerahkan sesuatu kepada polisi, mereka tidak berusaha mendapatkan sesuatu kembali.

"Bagaimana jika pemiliknya sedang dalam masalah atau membutuhkan barang-barang itu?".

"Intinya, tentu saja, orang-orang di Jepang mendapatkan kembali barang mereka yang hilang karena adanya hukum dan norma, bukan gagasan intrinsik tentang kejujuran.

Tapi itu berhasil," kata Mark D. West, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Michigan, AS, dan seorang ahli hukum Jepang.

West adalah peneliti yang melakukan tes menjatuhkan dompet di New York dan Tokyo.

Konsep hukum kepemilikan di Jepang tidak luar biasa "asing", katanya.

"Properti komunal hampir tidak ada, kecuali bahwa banyak orang yang tampaknya menganggap payung sebagai barang yang boleh diambil jika tidak diamankan dengan baik."

Banyaknya petugas polisi dan tradisi budaya yang mendorong orang untuk berpikir dulu tentang orang lain mungkin lebih mencerahkan daripada anggapan bahwa orang Jepang lebih jujur, di mata Behrens dan West. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini