TRIBUNNEWS.COM - Ekonom dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Retno Tanding Suryandari memberikan pandangannya perihal dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara-negara berkembang oleh Pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menurut Retno, terdapat sejumlah kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan suatu negara termasuk negara berkembang atau maju.
Namun dalam langkah yang diambil oleh Pemerintahan Amerika Serikat itu, mereka menggunakan patokan keanggotaan kelompok 20 ekonomi utama alias G20.
"Sehingga Indonesia dan beberapa negara lain seperti Brazil, India, Afrika Selatan dikeluarkan dari negara berkembang dan dijadikan sebagai negara maju," ujar Retno saat dihubungi Tribunnews, Minggu (23/2/2020).
Retno melanjutkan, dampak besar dari kebijakan ini berpengaruh kepada preferensi sistem yang sebelumnya didapatkan oleh negara-negara berkembang.
Terutama dalam hal pajak masuk barang ke Amerika Serikat.
Negara Paman Sam akan menetapkan biaya impor ke negaranya lebih tinggi kepada negara-negera berkembang yang telah berubah status menjadi maju.
Perempuan yang mengambil gelar doktoralnya di University Of North Texas ini menjelaskan apa yang dilakukan Donald Trump merupakan bagian dari sekenarionya untuk mengincar partner dangangnya, termasuk Indonesia.
"Saya kira Indonesia dari waktu ke waktu harus waspada. Indonesia menjadi satu negara yang diincar sama AS," ungkapnya.
Hal ini juga mengingat Indonesia dalam hubungan dangangnya dengan Amerika Serikat selalu mengalami surplus.
"Akan menjadi konsen pemerintah AS, bahwa surplus ini tidak boleh lebih 1 persen, kalau dulu dan sekarang masih 2 persen," kata Retno.
Retno menambahkan, ini bukan pertama kalinya Indonesia mendapatkan ancaman dari Pemerintah Amerika Serikat terkait dalam siklus perdagangan.
Semenjak Donald Trump menjadi presiden, dirinya telah melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki perekonomian negaranya.
Termasuk mengejar partner dangangnya demi meningkatkan neraca perdagangan surplus.