Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James Mattis sebelumnya mengecam tindakan Presiden AS Donald Trump sebagai ancaman terhadap Konstitusi AS terkait kebijakannya dalam menangani aksi protes berujung kerusuhan yang terjadi saat ini di negara itu.
Mattis, mengecam akun Twitter @POTUS yang kini melaporkan kegiatan presiden AS saat ini, yakni Trump, atas apa yang disebutnya sebagai pelanggaran hak-hak konstitusional Amerika, ketika negara itu diguncang gelombang protes atas kematian George Floyd.
Baca: Wuhan Akhirnya Dinyatakan Aman setelah 10 Juta Warga Dites Corona
Baca: Mantan Menhan AS: Trump Coba Pecah-Belah Amerika
Menanggapi kecaman Mattis, Trump pun membalasnya dengan menyebut Mattis sebagai jenderal yang jarang membawa pulang 'daging', meskipun ada 'kehidupan baru' yang diberikan Presiden AS kepadanya.
Dikutip dari laman Sputnik News, Kamis (4/6/2020), dalam serangkaian cuitannya, Trump menulis bahwa memecat Mattis mungkin menjadi satu-satunya kesamaan yang ia miliki dengan mantan Presiden AS Barack Obama.
Mattis memang telah mengkritisi masa jabatan Trump yang dinilai sebagai 'kepemimpinan yang tidak matang'.
Sementara Trump, mengaku tidak terlalu menyukai Mattis dan merasa senang jika Mattis 'lenyap'.
Tanggapan pedas Trump ini menyusul pernyataan Mattis yang menuduh Trump mengancam Konstitusi AS.
"Donald Trump adalah presiden pertama dalam hidup saya yang tidak mencoba untuk menyatukan Amerika, bahkan tidak berpura - pura untuk mencobanya. Alih-alih, dia malah mencoba memecah-belah kami," cuit Mattis.
Ia kemudian melanjutkan tudingannya terhadap kepemimpinan Trump yang dianggap belum cocok memimpin AS.
"Kami menyaksikan konsekuensi dari tiga tahun berlangsungnya upaya yang disengaja ini. Kami menyaksikan konsekuensi dari tiga tahun tanpa kepemimpinan yang matang. Kami dapat bersatu tanpa dia, dengan mengandalkan kekuatan yang melekat dalam masyarakat sipil kami," tambah Mattis.
Di tengah ancaman Trump untuk menggunakan kekuatan militer dalam mengatasi aksi protes yang sedang berlangsung atas kematian warga keturunan Afrika-Amerika George Floyd, Mattis meminta Menteri Pertahanan yang saat ini menjabat, Mark Esper serta pejabat senior lainnya untuk menolak segala pemikiran Trump yang ingin menjadikan kota-kota di AS sebagai 'arena pertempuran'.
Menanggapi ancaman Trump yang ingin menggunakan kekuatan militer, Mattis menegaskan bahwa tentara hanya boleh terlibat pada kondisi yang benar-benar sulit dan jika Gubernur negara bagian meminta kehadiran mereka.
Hal ini tentunya bertentangan dengan peringatan Trump bahwa ia akan menggunakan aset militer jika para Gubernur gagal mengendalikan protes.
Para Gubernur negara bagian di AS saat ini pun lebih merekomendasikan untuk mendominasi jalanan melalui pengerahan Garda Nasional, dibandingkan militer.
Perlu diketahui, aksi unjuk rasa solidaritas terhadap kematian George Floyd serta warga keturunan Afrika-Amerika lainnya yang terbunuh oleh polisi di AS telah digelar pada ratusan kota di 50 negara bagian AS selama sepekan terakhir.
Dengan meningkatnya ketegangan ini, beberapa aksi protes pun berubah menjadi kerusuhan dan bentrokan dengan aparat penegak hukum.
Sementara aksi lainnya diakhiri dengan tindakan penjarahan dan pengrusakan properti.
Akibatnya, banyak otoritas negara bagian yang memanggil Garda Nasional untuk mengendalikan situasi ini.
Beberapa orang pun dinyatakan tewas dalam kerusuhan itu, sementara puluhan lainnya terluka.
Melihat situasi panas saat ini, Presiden AS Donald Trump telah mengerahkan pasukan militer ke ibu kota AS, Washington DC dan mengancam akan mengirimkan pasukan yang sama ke negara bagian lainnya jika aksi rusuh ini tidak segera dihentikan.