TRIBUNNEWS.COM - Buku terbaru karya mantan Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton mendadak viral karena menulis kerjasama Presiden AS dengan China.
Bolton mengatakan bahwa Presiden Donald Trump meminta bantuan Presiden China, Xi Jinping untuk memenangkannya pada Pemilu AS 2020.
Tuduhan adanya kongkalikong antara Xi Jinping dengan Trump merujuk pertemuan mereka pada KTT G20 di Osaka, Jepang pada Juni 2019.
"Trump, secara menakjubkan, mengalihkan pembicaraan ke pemilihan presiden AS yang akan datang (pada 2020), menyinggung kemampuan ekonomi China dan memohon kepada Jinping untuk memastikan dia menang," tulis Bolton, dikutip dari BBC.
"Dia menekankan pentingnya petani dan meningkatkan pembelian kedelai dan gandum China dalam hasil pemilu," tambahnya.
Baca: Mantan Penasihat Gedung Putih Ungkap Donald Trump Kongkalikong dengan Xi Jinping Agar Menang Pilpres
Baca: Facebook Hapus iklan Kampanye Trump yang Gunakan Simbol Kamp Konsentrasi Nazi
Memang para petani menjadi pemilih utama karena sebagian besar dari mereka memenangkan Trump pada pemilu 2016.
Bolton juga menyebutkan pembicaraan sebelumnya pada jamuan makan malam, di mana Jinping dan Trump membahas pembangunan kamp di wilayah Xinjiang, barat China.
Trump mengatakan bahwa pembangunan itu tepat dan harus dilanjutkan.
Diketahui China telah menahan sekitar satu juta warga Uighur dan etnis minoritas di kamp-kamp tersebut.
Mereka dihukum dan didoktrinasi di dalam tempat itu.
Padahal pemerintahan Trump mengritik perlakuan China kepada Uighur secara terang-terangan.
Bahkan pada Rabu ini, Trump menandatangani undang-undang yang mengesahkan sanksi AS kepada pejabat China yang bertanggungjawab atas penindasan warga Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
China membantah menganiaya warga Uighur dan menyerang langkah AS, menyebutnya tindakan jahat dan mengancam.
Baca: Kampanye Pertama Donald Trump Abaikan Jaga Jarak dan Tak Diwajibkan Pakai Masker
Baca: Donald Trump Dikecam karena Ingin Rapat di Lokasi Pembantaian Orang Afrika-Amerika di Era 1921
Selain berupaya dengan Jinping, Bolton membenarkan tuduhan Trump menginginkan pemangkasan bantuan militer untuk menekan Ukraina agar memberikan informasi untuk mengalahkan Joe Biden, capres dari partai Demokrat.
Lebih lanjut, ada sejumlah poin-poin 'rahasia' yang ditulis Bolton tentang aksi Trump selama ini.
Bolton mengatakan pemakzulan presiden mungkin akan berbeda bila dilakukan tahun ini dengan meneliti kasus Ukraina dan mencurigai adanya campur tangan politik di dalamnya.
Pada Januari lalu, Trump didakwa karena menahan bantuan militer untuk menekan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky agar memulai penyelidikan korupsi terhadap Biden dan putranya, Hunter.
Presiden membantah tuduhan itu dan dibebaskan setelah persidangan selama dua pekan, di mana mayoritas Senat adalah Partai Republik pada Februari silam.
Lalu Trump juga dikatakan pernah menyebut bahwa menginvasi Venezuela akan keren.
Dalam bukunya, Bolton menulis Trump mengatakan, Venezuela, negara Amerika Selatan itu benar-benar bagian dari Amerika Serikat.
Baca: Kasus Baru Positif Covid-19 Meningkat, Donald Trump Pastikan Amerika Tidak Akan Lockdown Lagi
Baca: Duduk Perkara Korut Ledakkan Kantor Penghubung di Kaesong Menurut Ahli, Merasa Dikhianati Trump
Bolton mengungkap bahwa banyak pembantu terdekat presiden yang secara pribadi meremehkannya.
"Kamu tidak bisa membayangkan betapa putus asa aku untuk keluar dari sini. Ini adalah tempat yang buruk untuk bekerja, karena kamu akan mengetahuinya," kata Mantan Kepala Staf Gedung Putih, Kelly An Shaw sebagaimana diceritakan Bolton.
Kritikan pada Trump ternyata juga datang dari Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo.
"Dia sangat penuh omong kosong," kata Pompeo, dalam buku Bolton merujuk pertemuan Trump dengan Pemimpin Korea Utara pada 2018 silam.
Padahal Pompeo selama ini dinilai sebagai sosok yang loyal kepada Presiden Trump.
Namun Bolton mengatakan Pompeo adalah satu dari sekian banyak pembantu Trump yang ingin mengundurkan diri karena frustrasi bekerja untuk presiden.
Bolton menulis bahwa presiden melihat persekongkolan di balik batu, dan tetap tidak mendapat informasi tentang bagaimana mengendalikan Gedung Putih, apalagi pemerintah federal yang besar.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)