TRIBUNNEWS.COM - Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, akan mengajukan surat perintah penangkapan terhadap kepala junta Myanmar atas deportasi dan penganiayaan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
"Setelah penyelidikan yang menyeluruh, independen, dan tidak memihak, Kantor saya telah menyimpulkan bahwa ada alasan yang cukup untuk meyakini bahwa Jenderal Senior dan Penjabat Presiden Min Aung Hlaing, Panglima Tertinggi Angkatan Pertahanan Myanmar, memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa deportasi dan penganiayaan terhadap Rohingya, yang dilakukan di Myanmar, dan sebagian di Bangladesh," kata Karim Khan dalam sebuah pernyataan, Rabu (27/11/2024).
Menurut jaksa, kejahatan ini dilakukan antara 25 Agustus dan 31 Desember 2017 oleh Angkatan Bersenjata Myanmar, yang didukung oleh polisi nasional, polisi penjaga perbatasan, serta warga sipil non-Rohingya.
"Ini merupakan permohonan pertama untuk surat perintah penangkapan terhadap pejabat tinggi pemerintah Myanmar yang diajukan oleh kantor kejaksaan. Akan ada permohonan selanjutnya," tambahnya.
Karim Khan menekankan aplikasi dari surat tersebut mengandalkan berbagai macam bukti dari sejumlah sumber seperti keterangan saksi, bukti dokumenter, serta materi ilmiah, foto, dan video yang sah.
“Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada Rohingya. Lebih dari satu juta anggota komunitas mereka terpaksa melarikan diri dari kekerasan di Myanmar," katanya.
"Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kesaksian dan dukungan kepada Kantor saya, mereka yang telah berbagi cerita, mereka yang telah memberi kami informasi dan materi,” lanjutnya, dikutip dari Anadolu Agency.
Nasib Orang-orang Rohingya di Myanmar
Orang-orang dari suku Rohingya telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak 1982, dan tidak memenuhi syarat untuk wajib militer.
Mereka telah menjadi sasaran kekerasan sistematis dan pengusiran dari rumah mereka di Negara Bagian Rakhine utara.
Orang-orang Rohingya semakin menderita karena serangan militer brutal yang mengusir sekitar 750.000 orang Rohingya ke Bangladesh pada 2017.
Baca juga: Ribuan Pengungsi Rohingya Kembali Mengungsi ke Bangladesh, Pejabat Daerah: Kami Sudah Terbebani
Militer Myanmar mengklaim serangan itu menargetkan kelompok bersenjata Rohingya yang sebelumnya menyerang militer.
Terlebih, kudeta militer di Myanmar pada 2021, telah berdampak buruk pada hak asasi manusia, seperti diberitakan Amnesti Internasional.
Eskalasi terkini di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dimulai pada November 2023 ketika kelompok pemberontak bersenjata "Tentara Arakan" dan dua kelompok bersenjata lainnya menyerang pos militer Myanmar.
Militer Myanmar membalasnya dengan menyerang sejumlah wilayah di negara bagian Rakhine, di mana warga sipil etnis Rohingya dan lainnya yang tinggal di sana menjadi korban.
Pertempuran tersebut menyebabkan ribuan orang-orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh, yang dapat ditempuh melalui jalur darat.
Pemerintah Bangladesh membangun kamp pengungsi Rohingnya di wilayah Cox's Bazar, yang kini semakin padat oleh pengungsi yang terus berdatangan.
Selain menuju Bangladesh, orang-orang Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, kabur ke sejumlah negara tetangga termasuk Thailand, Indonesia dan Myanmar melalui jalur laut dengan menaiki perahu.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)