"Malaysia secara tidak adil diminta untuk berbuat lebih banyak untuk menampung para pengungsi yang datang," ujarnya.
Sejak beberapa bulan terakhir, PBB telah memperingatkan Asia Tenggara akan menghadapi terulangnya krisis Laut Andaman tahun 2015, ketika ribuan orang Rohingya terombang-ambing di laut akibat penolakan sejumlah negara.
Akibatnya, sekitar 370 orang tewas saat itu.
Pandemi COVID-19 kini memperburuk kondisi di tempat pengungsian terbesar di dunia di Cox's Bazar, Bangladesh, mendorong banyak penghuninya mencari suaka ke tempat lain.
Bulan lalu, PBB menyatakan prihatin dengan adanya perahu-perahu yang dijejali kaum perempuan, pria dan anak-anak terombang-ambing di perairan yang sama. Mereka tak bisa mendarat, kekurangan makanan, air tawar, dan obat-obatan.
Australia memainkan peran sentral bersama dengan AS dan pemerintah setempat dalam menyelesaikan krisis 2015 tersebut.
Usman Hamid dari Amnesty Internasional menyatakan, Indonesia dan Australia dapat mencari solusi atas permasalahan ini melalui mekanisme 'Bali Process', yang secara historis berfokus pada perdagangan manusia.
"Pemerintah Indonesia harus memulai komunikasi intensif dengan para pemimpin negara di ASEAN dan Bali Process untuk menyelamatkan semua orang yang terjebak di perahu-perahu tersebut," katanya.
"Banyak sekali orang meninggal dalam perjalanan ini. Kini waktunya bagi para pemimpin untuk menyelamatkan nyawa manusia," ujar Usman.
Sementara itu Human Rights Watch menyatakan jika negara-negara Asia Tenggara "tanpa memiliki perasaan, menyerah begitu saja dalam melindungi pengungsi Rohingya."
'Bukan masyarakat kaya'
Orang Aceh yang menolong para pengungsi Rohingya ini memiliki sejarah konflik sendiri, yaitu pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka terhadap Pemerintah Indonesia yang terjadi antara tahun 1976 dan 2005.
Selama konflik tersebut, sebagian orang Aceh melarikan diri sebagai pengungsi ke negara-negara tetangga termasuk Malaysia dan Australia.
Pemberontakan GAM berakhir setelah bencana tsunami 2004 yang menghancurkan wilayah itu.