TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON D.C- Sejak awal tahun 2020 ini, perlombaan senjata antara negara-negara besar terlihat mulai terjadi. AS, China, dan Rusia masih menjadi peserta utama dalam perlombaan ini.
Departemen Pertahanan AS atau Pentagon bahkan telah menjadikan pengembangan senjata nuklir China sebagai perhatian khusus.
Penambahan jumlah hulu ledak nuklir China untuk pertama kalinya dibahas secara khusus dalam laporan tahunan Pentagon yang rilis awal bulan September ini.
Berbeda dengan AS yang berhak menggunakan senjata nuklir jika terjadi konflik, Rusia dan China memiliki kebijakan yang berbeda.
Baca: China Mengadakan Latihan Militer saat Utusan AS Mengunjungi Taiwan
Rusia mengizinkan penggunaan senjata nuklir hanya jika terjadi agresi nuklir berskala besar. Sementara China baru akan menggunakan senjata nuklir jika menerima serangan nuklir.
Jenderal Timothy Ray, kepala Komando Serangan Global Angkatan Udara AS, dalam wawancaranya dengan Air Force Times membeberkan sejumlah rencana AS untuk menghadapi perang nuklir yang bisa saja terjadi.
Ray menilai bahwa China dan Rusia adalah musuh paling potensial jika perang nuklir terjadi. Kedua negara tersebut juga bisa menyebabkan kehancuran terparah bagi AS.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Ray mengatakan bahwa AS telah menjalankan program pengembangan senjata nuklir senilai $1,5 triliun.
Program ini sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Barack Obama dan masih terus dilanjutkan oleh Donald Trump saat ini.
Trump bahkan mampu meraup lebih banyak dana untuk pengembangan nuklir untuk armada laut. Trump juga menurunkan ambang batas penggunaannya.
Perbandingan anggaran nuklir AS, Rusia, dan China
Walaupun mengganggap Rusia dan China sebagai lawan yang berbahaya, nyatanya anggaran nuklir kedua negara tersebut masih jauh di bawah AS.
Dikuitp dari Sputnik News, Pentagon memperkirakan bahwa Rusia telah menghabiskan dana $28 miliar untuk pengembangan senjata nuklir, hanya sekitar 2% dari anggaran program AS.
Anggaran tersebut digunakan Rusia dalam beberapa tahun terakhir untuk pengembangan sistem rudal hipersonik baru yang hampir selesai.
Sementara China, dikabarkan menyiapkan $10,4 miliar untuk pengembangan senjata nuklir pada tahun 2019. Jumlah itu hanya sekitar 30% dari anggaran yang dikeluarkan AS untuk nuklir di tahun 2019.
Angka tersebut merupakan perkiraan dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. Jumlah sebenarnya masih belum diketahui dengan pasti.
Membangun armada tempur nuklir baru
Dalam wawancara yang dirilis Air Force Times tanggal 13 September 2020 lalu, Jenderal Ray juga mengatakan bahwa Angkatan Udara AS telah menyiapkan sejumlah armada tempur bersejata nuklir terbaru.
Pertama, ada B-21 Raider, pesawat bomber siluman yang kini dikembangkan oleh Northrop Grumman dan diharapkan bisa mulai bertugas pada tahun 2025.
B-21 Raider akan menjadi tandem bagi B-2 Spirit, Rockwell B-1 Lancer, dan Boeing B-52 Stratofortress yang sudah berusia cukup tua.
Pekan lalu, Pentagon menyodorkan kontrak ke Northrop Grumman senilai $13,3 miliar untuk pembuatan rudal balistik antarbenua generasi terbaru, atau disebut Ground Based Strategic Deterrent (GBSD).
GBSD akan menjadi pengganti dari Minuteman III yang telah digunakan selama sekitar 50 tahun hingga sekarang.
GBSD diperkirakan akan siap pada 2027, dan bisa menggantikan seluruh unit Minuteman III pada tahun 2036.
Ray menjelaskan bahwa penembak rudal antarbenua ini akan menggunakan bahan bakar komposit dan memiliki jangkauan setidaknya 15.000 km.