Dalam kasus terpisah, surat kabar Katolik setempat, The Herald, menggugat pemerintah.
Gugatan dilayangkan setelah pemerintah mengatakan bahwa kata "Allah" tidak dapat digunakan dalam bahasa Melayu untuk menggambarkan Tuhan Kristen.
Pada tahun 2009, pengadilan tingkat yang lebih rendah memutuskan untuk mendukung The Herald.
Pengadilan tersebut mengizinkan umat Kristen menggunakan kata "Allah".
Keputusan itu pun memicu lonjakan ketegangan agama antara Muslim dan Kristen.
Lusinan gereja dan beberapa ruang ibadah Muslim diserang dan dibakar.
Pada 2013, keputusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Banding.
Pengadilan akhirnya mengaktifkan kembali larangan tersebut.
Hingga pada Kamis (11/3/2021) ini, menurut The Star, Muafakat Nasional Malaysia, sebuah koalisi politik di negara itu, mendesak agar putusan Pengadilan Tinggi yang terbaru dirujuk ke Pengadilan Banding.
Baca juga: Komunitas Kristen Indonesia di Australia Temukan Arti Natal Sesungguhnya Saat Pandemi
Baca juga: Pemerintah AS Kembali Buka Pengajuan Visa dari 13 Negara Mayoritas Muslim dan Afrika
Kebebasan Beragama di Malaysia
Diketahui, hampir dua pertiga dari populasi Malaysia adalah Muslim.
Namun, ada pula komunitas umat Kristen yang besar di negari Jiran.
Komunitas Kristen ini berpendapat, mereka telah menggunakan kata "Allah" untuk merujuk kepada Tuhan mereka selama berabad-abad.
Kata ini merupakan bahasa Melayu yang berasal dari bahasa Arab.
Di samping itu, Konstitusi Malaysia pun menjamin kebebasan beragama.
Namun, ketegangan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)