TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Presiden AS Joseph “Joe” Biden dinilai tak berminat menyelesaikan konflik abadi Israel-Palestina.
Hingga awal April ini, hampir tiga bulan sesudah dilantik sebagai Presiden AS, Biden belum menunjuk utusan khusus masalah Israel-Palestina.
Ini sangat berbeda dengan kedua pendahulunya, Barrack Obama dan Donald Trump.
Dikutip dari situs berita politik terkemuka AS, Politico.com, Rabu (7/4/2021), Biden tidak memiliki rencana untuk konferensi perdamaian apa pun.
Baca juga: Liga Arab dan Palestina Kutuk Pembukaan Kantor Diplomatik Ceko di Yerusalem
Baca juga: Respon Israel, Iran dan Palestina Atas Terbentuknya Pemerintahan Baru Joe Biden
Baca juga: Palestina Sambut Bahagia Kekalahan Trump, Berikut Sederet Kebijakannya yang Dinilai Pro-Israel
Bahkan rencana menuju usaha perdamaian dalam waktu dekat. Tokoh yang mendekati sikap dan langkah Biden ini sebelumnya adalah George W Bush.
Awalnya Bush menolak terlibat masalah Israel-Palestina, tetapi akhirnya ia menemukan dirinya tidak dapat mengabaikannya.
Biden hanya mengambil beberapa langkah kecil mengubah arah posisi AS dari sikap yang sangat pro-Israel di era Trump.
Ia memulihkan beberapa bantuan sederhana untuk Palestina. Biden dan timnya mengisyaratkan konflik itu bukanlah prioritas bagi pemerintahan mereka.
Gedung Putih saat ini memilih lebih konsentrasi pada hubungan yang semakin sengit dengan China, persaingan dengan Rusia dan kesepakatan nuklir Iran.
Sikap Biden itu dikhawatirkan bisa menempatkan solusi dua negara bagi Israel dan Palestina di luar jangkauan. Apalagi jika Israel terus memperluas permukimannya di wilayah Palestina.
"Pemerintahan Biden tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi bidan negara Palestina," kata Khaled Elgindy, Direktur Program untuk Palestina dan Urusan Palestina-Israel di Institut Timur Tengah.
"Mereka tidak mengejar ini dengan tingkat prioritas atau urgensi apa pun, dan itu akan diperlukan jika Anda akan mendorong negara Palestina," imbuhnya.
Para pembantu Biden mengatakan mereka tidak dapat mengejar kesepakatan damai ketika baik Palestina maupun Israel tampak tidak siap untuk diskusi serius.
Ini berkebalikan dengan apa yang disampaikan Menlu AS Anthony Blinken Januari lalu.
"Satu-satunya cara untuk memastikan masa depan Israel sebagai negara Yahudi yang demokratis dan memberikan Palestina sebuah negara yang menjadi hak mereka adalah melalui apa yang disebut solusi dua negara," Blinken di depan Kongres saat uji kepatutan sebagai Menlu.
"Saya pikir secara realistis sulit untuk melihat prospek jangka pendek untuk bergerak maju dengan itu," tambahnya kala itu.
Biden sebenarnya memiliki pengalaman puluhan tahun di Senat, kemudian Wakil Presiden Obama, sehingga ia dianggap lebih ahli dalam konflik Israel-Palestina daripada kebanyakan pendahulunya.
Biden juga memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh kunci dalam konflik tersebut, termasuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Hubungan itu tetap bertayan walau ada ketegangan serius, terkait upaya Netanyahu merusak kebijakan era Obama-Biden terkait Iran.
Biden pernah mengatakan di masa lalu dia pernah memberi tahu Netanyahu, menggunakan nama panggilannya, "Bibi, aku tidak setuju dengan apa pun yang kamu katakan, tapi aku mencintaimu."
Namun, berkat Netanyahu dan intrik Trump, pemerintahan Biden kini mengalami kesulitan menemukan pijakannya pada masalah yang selalu sensitif.
Minggu lalu, misalnya, pejabat Departemen Luar Negeri berjuang untuk menjawab pertanyaan tentang apakah Amerika masih percaya Tepi Barat diduduki Israel.
Pertanyaan tersebut muncul setelah rilis Laporan Hak Asasi Manusia tahunan departemen tersebut. Di bawah Trump, referensi laporan itu tentang pendudukan dipangkas.
Pada Kamis, setelah berulang kali didesak wartawan, juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengklarifikasi posisi pemerintah: “Apakah menurut kami Tepi Barat diduduki? Iya!"
Di tengah keributan itu, setidaknya dua pemimpin bisnis Palestina mampir ke Washington untuk bertemu dengan pejabat AS.
Informasi datang dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut dikonfirmasi ke Politico. Siapa yang dapat mereka temui dan rincian diskusi informal tidak jelas.
Tetapi kunjungan tersebut merupakan upaya untuk menemukan cara untuk sepenuhnya membangun kembali koneksi AS-Palestina yang sebagian besar terputus di bawah Trump.
Pimpinan resmi Palestina memutuskan berhenti berbicara dengan tim Trump setelah Desember 2017, ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Trump lantas memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, diikuti sejumlah Negara sekutu dekat AS.
Kedua langkah tersebut merupakan perubahan kebijakan yang sangat besar bagi Amerika Serikat terkait konflik Israel-Palestina.(Tribunnews.com/Politico.com/xna)