'Saya bisa mendengar anak-anak saya berteriak'
Riyad Eshkontana (42), berada di apartemennya di Kota Gaza pada Minggu (16/5) dini hari. Ia menonton berita sementara istrinya sedang memeriksa anak-anak mereka yang sedang tidur. Sebuah kilatan merah dan kuning menerangi ruangan dan gedung mulai bergetar hebat.
“Saya lari ke anak-anak saya dan berteriak kepada istri saya, menyuruhnya membawa anak-anak keluar kamar,” kenangnya.
"Tapi dalam beberapa detik, seluruh tempat itu runtuh, dan kami terkubur puing-puing," kata Riyad.
“Lima jam saya di bawah puing-puing, saya dapat mendengar anak-anak saya berteriak dan meminta bantuan. Tapi saya tidak bisa membantu mereka karena puing-puing menutupi kepala, dada, dan salah satu jari saya terpotong,” kata Eshkontana.
Dua putrinya yang masih kecil, dua putra, dan istrinya dibunuh saat itu.
Baca juga: Cerita Korban Serangan Israel di Jalur Gaza, Anak-anak Teriak dan Menangis, Momen Itu Mengerikan
Putrinya yang berusia tujuh tahun, Souzi, selamat, tetapi dia tidak dapat berbicara atau makan sejak dia diselamatkan dari puing-puing.
Eshkontana dan keluarganya tinggal di gedung Abu al-Ouf, di daerah pemukiman kelas atas, yang menjadi sasaran serangan udara Israel, tanpa peringatan sebelumnya.
Serangan dini hari itu menewaskan sedikitnya 42 warga Palestina dan menjadikannya hari paling mematikan dari putaran pertempuran terakhir.
Rentetan rudal juga meratakan setidaknya empat bangunan lain di jalan yang sama.
“Tidak ada aksi militer di gedung ini, jika saya tahu bahwa ini adalah kawasan militer, saya tidak akan hidup di sana bersama anak-anak saya yang saya cintai dan ingin saya lindungi,” kata Eshkontana.
“Semua tetangga saya adalah orang-orang yang dihormati dan kebanyakan dari mereka adalah dokter - semuanya adalah orang-orang yang baik dan baik, semuanya terbunuh dalam serangan yang sama,”katanya. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)