TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan, 20 tahun pendudukan AS di Afghanistan 'tidak akan mengubah' apapun, selama pasukan Afghanistan menolak untuk mengambil alih tugas AS di negara itu dalam melawan Taliban yang 'sekali lagi' kembali merebut kekuasaan.
Pernyataan ini dia sampaikan Senin awal pekan ini setelah pemerintah Afghanistan yang didukung AS 'bubar' dan meninggalkan negara itu pada akhir pekan kemarin.
Biden menegaskan, dirinya berdiri 'tepat di belakang' keputusannya untuk menarik pasukan AS sepenuhnya keluar dari negara itu.
"Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk mundur. Tidak ada kemungkinan yang menunjukkan bahwa 1 tahun lagi, 5 tahun lagi, bahkan 20 tahun lagi sepatu boot militer AS akan menciptakan perbedaan di sana," tegas Biden.
Joe Biden menekankan bahwa 'suatu kesalahan' jika memerintahkan pasukan AS kembali masuk, saat militer negara itu bahkan tidak ingin berperang.
Menurutnya, ini merupakan hal yang sia-sia.
Baca juga: Taliban Sita Sebagian Besar Alat Militer Canggih AS yang Dipasok untuk Tentara Afghanistan
"Salah jika memerintahkan pasukan Amerika untuk maju ke sana, saat Angkatan Bersenjata Afghanistan sendiri tidak mau melakukannya," jelas Biden.
Baca juga: Taliban Kuasai Ibu Kota, Gubernur Bank Sentral Afghanistan Kabur Pakai Pesawat Militer
Dikutip dari laman Sputnik News, Selasa (17/8/2021), Biden menjelaskan bahwa tim keamanan nasionalnya bergerak mengikuti rencana eksekutif yang diberlakukan sebagai tanggapan dalam menghadapi setiap kemungkinan.
Baca juga: Dikritik Gara-gara Taliban Berkuasa, Joe Biden Justru Salahkan Presiden dan Militer Afghanistan
"Termasuk keruntuhan cepat (pemerintahan Afghanistan) yang kita lihat sekarang ini," papar Biden.
Langkah yang berdasar pada rencana eksekutif itu diantaranya juga dengan mengerahkan 6.000 tentara AS untuk membantu proses evakuasi warga sipil Amerika dan sekutu serta sisa aset AS di negara itu, termasuk kedutaannya.
Kendati demikian, Biden mengakui bahwa runtuhnya pemerintahan negara di Timur Tengah itu ternyata lebih cepat dari prediksinya.
"Ini terjadi lebih cepat dari yang kami perkirakan," kata Biden.
Biden telah menyoroti perang AS di Afghanistan yang dimulai sejak 20 tahun lalu, setelah terjadinya serangan teroris 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok teroris al-Qaeday ang berbasis di Afghanistan selatan.
Ia menuturkan, tujuan utama kehadiran AS di negara itu adalah untuk menangkap mereka yang telah menyerang AS.
Bukan untuk membangun kembali negara atau mempertahankan pemerintah pro-AS.
"Misi kami di Afghanistan tidak pernah ditujukan untuk 'membangun bangsa', tidak seharusnya kami menciptakan demokrasi terpusat dan terpadu."
"Satu-satunya kepentingan nasional vital kami di Afghanistan itu tetap seperti saat ini yakni mencegah serangan teroris di tanah air kami, Amerika," tegas Biden.
Sebaliknya, Biden kemudian meminta agar perhatian utama AS juga difokuskan di luar Afghanistan, termasuk memerangi kelompok teroris yang telah 'bermetastasis' di luar perbatasan negara itu.
Ia bahkan menyebut secara khusus kelompok teroris seperti al-Shabaab di Somalia, al-Nusra di Suriah, dan al-Qaeda di Semenanjung Arab di Yaman.
"Pesaing strategis sejati kami, China dan Rusia tidak akan menyukai apapun, selain Amerika Serikat terus 'menggelontorkan' miliaran dolar dan sumber daya serta perhatian untuk menstabilkan Afghanistan tanpa batas waktu," pungkas Biden.
Sebelumnya, Kepala Komando Pusat AS, Jenderal Frank McKenzie mengatakan kepada perwakilan Taliban di Qatar pada hari Minggu lalu bahwa pasukan AS akan mempertahankan Bandara Kabul.
Karena 2.500 tentara AS telah tiba untuk mengawasi proses evakuasi pasukan, peralatan, hingga personel sipil AS dan sekutu, termasuk warga Afghanistan yang selama ini telah bekerja sama selama pendudukan AS dan NATO di negara itu.
Sia-sia Gelontorkan Dana
Pasukan keamanan Afghanistan yang telah dibiayai dan dilatih selama bertahun-tahun oleh militer AS runtuh oleh Taliban.
Dilansir APNews, AS menggelontorkan dana sekitar USD 83 miliar, khusus untuk membiayai pasukan di Asia Selatan ini selama 20 tahun pendudukan militernya.
Namun pada akhirnya, penerima manfaat utama dari Amerika adalah Taliban.
Sejak merebut ibu kota Kabul pada Minggu (15/8/2021), kelompok militan ini telah mengamankan pasokan AS mulai dari senjata, amunisi, helikopter, dan banyak lainnya.
Taliban merebut berbagai peralatan militer modern ketika menyerbu pasukan keamanan Afghanistan di pusat-pusat distrik.
Seorang pejabat pertahanan AS pada Senin (16/8/2021), mengonfirmasi akumulasi biaya untuk persenjaataan yang direbut Taliban.
Kegagalan AS menghasilkan tentara dan polisi Afghanistan yang mumpuni serta alasan keruntuhan mereka, akan dipelajari selama bertahun-tahun oleh para analis militer.
Menurut ulasan APNews, runtuhnya pasukan Afghanistan tidak berbeda dengan yang terjadi di Irak.
Meski telah dilengkapi senjata canggih, sebagian besar pasukan tidak memiliki motivasi untuk bertempur.
"Uang tidak bisa membeli kemauan. Anda tidak dapat membeli kepemimpinan," kata John Kirby, kepala juru bicara Menteri Pertahanan Lloyd Austin pada Senin.
Pensiunan Letnan Jenderal Angkatan Darat AS, Doug Lute, menilai ada kekurangan internal di pasukan Afghanistan.
"Prinsip perang tetap – faktor moral mendominasi faktor material," katanya.
"Moral, disiplin, kepemimpinan, kekompakan unit lebih menentukan daripada jumlah pasukan dan peralatan."
"Sebagai orang luar di Afghanistan, kami dapat menyediakan materi, tetapi hanya orang Afghanistan yang dapat memberikan faktor moral yang tidak berwujud," kata mantan tentara yang menjadi pengarah strategi Perang Afghanistan di masa pemerintahan George W Bush dan Barack Obama ini.
Orang-orang Afghanistan naik ke atas sebuah pesawat saat mereka menunggu di bandara Kabul di Kabul. Afghanistan. Senin (16/8/2021), setelah berakhirnya perang 20 tahun Afghanistan dengan cepat, ketika ribuan orang mengerumuni bandara kota itu mencoba melarikan diri dari kelompok garis keras yang ditakuti. (Wakil Kohsar / AFP) (AFP/WAKIL KOHSAR)
Di sisi lain, geriyawan Taliban dengan jumlah kecil dan tanpa perlatan canggih mampu menjadi kekuatan yang unggul.
Taliban dengan cepat menguasai kota-kota penting di Afghanistan hingga berhasil menduduki Istana Kepresidenan di Kabul pada Minggu lalu.
Presiden AS, Joe Biden, mengaku tidak mengira pemerintah Afghanistan akan runtuh oleh Taliban secepat ini.
Stephen Biddle, profesor urusan internasional dan publik di Universitas Columbia dan mantan penasihat komandan AS di Afghanistan, mengatakan pengumuman penarikan pasukan oleh Biden memicu keruntuhan.
"Ketika mereka (pasukan Afghanistan) mengetahui bahwa militer Amerika akan pulang, dorongan untuk menyerah tanpa perlawanan 'menyebar seperti api'," katanya.
Latihan pembangunan kekuatan Afghanistan sangat bergantung pada sumbangan Amerika, hingga Pentagon membayar gaji pasukan Afghanistan.
Namun dilaporkan dana itu beberapa kali dikorupsi oleh oknum pejabat.
Dari sekitar USD 145 miliar yang dihabiskan pemerintah AS untuk membangun kembali Afghanistan, sekitar USD 83 miliar digunakan untuk mengembangkan dan mempertahankan tentara dan polisi negara ini, menurut Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction.
USD 145 miliar adalah tambahan dari USD 837 miliar yang dihabiskan Amerika Serikat untuk berperang, dimulai sejak invasi pada Oktober 2001.
Dana sebesar USD 83 miliar yang diinvestasikan untuk pasukan Afghanistan selama 20 tahun, besarnya hampir dua kali lipat dari anggaran untuk seluruh Korps Marinir AS tahun lalu.
Biaya ini juga melebihi anggaran pemerintah AS pada tahun lalu untuk memberi bantuan kupon makanan bagi 40 juta warga Amerika Serikat.
Dalam bukunya 'The Afghanistan Papers', jurnalis Craig Whitlock menulis bahwa AS mencoba memaksakan cara-cara Barat kepada rekrutmen militer Afghanistan.
Mereka dinilai tida memikirkan apakah layak miliaran dolar digelontorkan untuk pelatihan para tentara ini.
Laporan; Fitri Wulandari/Ika Nur Cahyani