Setelah Taliban memasuki Kabul bulan lalu, pasukan AS memulai operasi evakuasi untuk mengangkut warga Amerika, warga Afghanistan, dan sekutu ke luar negeri.
Nahasnya, di tengah evakuasi, terjadi bom bunuh diri yang menewaskan 175 orang termasuk 13 anggota militer AS.
"Ketika Presiden Biden menjabat pada Januari, dia mewarisi kesepakatan yang dicapai pendahulunya dengan Taliban untuk memindahkan semua pasukan AS yang tersisa pada 1 Mei tahun ini," kata Blinken kepada HFAC.
"Sebagai bagian dari perjanjian itu, pemerintahan sebelumnya menekan pemerintah Afghanistan untuk membebaskan 5.000 tahanan Taliban – termasuk beberapa komandan perang. Sementara, itu mengurangi kehadiran pasukan kita sendiri menjadi 2.500 tentara," lanjutnya.
Blinken menambahkan, bahwa Biden tidak punya pilihan selain menyelesaikan penarikan atau meningkatkan risiko serangan terhadap pasukan AS.
Partai Republik Geram
Penarikan pasukan ini membuat marah Partai Republik, yang dulu menaungi Donald Trump.
Partai Republik menilai Biden meninggalkan sekutu Washington dan membiarkan Afghanistan menjadi "surga bagi teroris".
"Penarikan pemerintah yang ceroboh dari Afghanistan mungkin merupakan bencana urusan luar negeri terburuk dalam sejarah Amerika," kata Steve Chabot dari Partai Republik kepada Blinken, Senin.
"Pada dasarnya Anda telah menyerahkan negara itu dan rakyatnya kepada kebaikan Taliban, dan Taliban tidak memiliki kebaikan," ungkapnya.
Baca juga: Demi Bertahan Hidup, Warga Afghanistan Terpaksa Jual Perabotan Rumah Tangga
Baca juga: Warga Afghanistan Kekurangan Pangan, PBB Butuh Rp 8,5 Triliun Lebih untuk Membantu
Chris Smith, seorang Republikan lainnya, meminta Blinken untuk mundur.
Gregory Meeks, ketua HFAC dari Partai Demokrat dalam sambutannya mempertanyakan protes para Republikan terhadap kesepakatan yang dulu dinegosiasikan oleh Trump dan Mike Pompeo itu.
"Saya bertanya di mana protes ini ketika pemerintahan Trump mengesampingkan pemerintah Afghanistan untuk membuat kesepakatan dengan Taliban?" tanya Meeks.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)